TINJAUAN KRITIS TERHADAP PENEGAKAN & PELAKSANAAN ETIKA PROFESI HUKUM DEWASA INI
BAB I
PENDAHULUAN
Guru besar kriminologi dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, misalnya, berpendapat bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum tidak lain dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau ‘law as a tool of crime’.
Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang beradu teknik & keterampilan. Siapa yg lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yg dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah: apakah tindakan itu salah? Salahkah bagi seorang advokat menggunakan pengetahuan hukumnya sebagai alat buat memenangkan kliennya?
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan paper ini penulis merumuskan beberapa permasalahn yg akan dibahas diantaranya sebagai berikut:
1. Penegakkan & pelaksanaan hukum pasca reformasi
2. Dua konsep etika profesi
3. Konsep jalan ketiga
4. Refleksi etika politik
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain buat memenuhi tugas akhir dari mata kuliah hukum Islam & dalam rangka mengkaji ulang mengenai penegakan & pelaksanaan etika profesi hukum.
1.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian yg dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir atau library research (studi pustaka). Karena itu, bahan yg digunakan dalam penelitian ini yaitu: pertama, bahan primer meliputi keseluruhan peraturan perundang-undangan. Kedua, bahan sekunder yg bersifat primer, yaitu bahan-bahan pustaka, seperti buku-buku yg berisikan pendapat para pakar atau praktisi atau hal-perihal yg berkaitan erat dgn permasalahan yg sedang dikaji. Ketiga, bahan-bahan sekunder berupa bahan yg diperoleh dari artikel, jurnal, & internet yg memiliki relevansi dgn permasalahan yg menjadi obyek kajian penelitian. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun paper ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penegakkan & Pelaksanaan Hukum Pascareformasi
Keberadaan institusi hukum di
Benarkah telah mulai terjadi modernisasi atau dgn kata lain terjadi perubahan seperti disebutkan di atas? Tentu, perubahan itu tentu saja ada. Masalahnya, seberapa besar perubahan itu telah terjadi. Perubahan itu sendiri hanya bisa dikenali dari gejala-gejalanya. Seperti kita ketahui bersama, lembaga peradilan di
Di hukumonline, misalnya, mulai bisa kita temukan tulisan-tulisan kritis yg mulai mempertanyakan kesahihan isi produk-produk perundangan yg ada atau bahkan kritik atas putusan dari lembaga peradilan. Tidak jarang pula kritik-kritik tersebut, berangkat dari pemikiran advokat yg mewakili kepentingan kliennya di pengadilan. Menurut pendapat penulis, fenomena tersebut adalah suatu fenomena yg menggairahkan bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia, mengingat dgn proses rasionalisasi & ‘desakralisasi’ ini posisi hukum di dalam masyarakat akan semakin jelas. Hukum sebagai alat pencari keadilan bisa menjadi bukan merupakan slogan kosong belaka. Perhatian atas masa depan hukum, akan jauh lebih baik dari sikap apatis yg tidak akan membawa kita ke mana-mana. Meski begitu, mesti diingat pula bahwa kondisi tersebut bukannya tidak mengandung resiko.
Seperti telah penulis kemukakan di muka, modernisasi ini telah mengundang kegerahan seorang guru besar kriminologi yg menyebut fenomena perkembangan hukum di Indonesia sebagai ‘law as a tool of crime’. Hukum yg berfungsi sebagai alat kejahatan. Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang beradu teknik & keterampilan. Siapa yg lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yg dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah: apakah tindakan itu salah? Salahkah bagi seorang advokat menggunakan pengetahuan hukumnya sebagai alat buat memenangkan kliennya?
Sayg ilustrasi yg beliau berikan tentang permasalahan di dalam hukum kontrak tersebut tidaklah konkrit, sehingga dgn informasi tersebut tidaklah cukup buat menimbang benar tidaknya tindakan si advokat yg dimaksud. Namun begitu, memang mesti diakui bahwa bukan tidak mungkin dgn kondisi hukum yg telah ‘memasyarakat’ ini, pendekatan-pendekatan pragmatis yg mungkin bertentangan dgn asas-asas & doktrin-doktrin hukum akan digunakan oleh advokat buat memenangkan kliennya.
Bahkan, kalau kita jeli memperhatikan, cara pikir pragmatis seperti ini terjadi juga di tingkatan pembuat kebijakan. Beberapa waktu yg lalu, misalnya, terdengar usulan dari seorang anggota dewan buat memberlakukan pembedaan tarif pembuatan paspor buat mencegah korupsi di Imigrasi. Alasannya adalah karena dgn begitu proses pembuatan paspor akan lebih efisien. Meski begitu, sudahkah dipikirkan bagaimana dampaknya pada asas perlakuan sama terhadap seluruh warga negara di depan hukum? Bukankah menurut konstitusi kedudukan warga negara dalam hukum & pemerintahan adalah sama? Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana semestinya seorang profesional hukum atau pengambil kebijakan bertindak? Buat dapat menjawab pertanyaan ini seobyektif mungkin, maka mau tak mau mesti kita tengok kembali konsep-konsep etika profesi hukum yg melandasi tindakan profesional hukum tersebut.
2.2 Dua Konsep Etika Profesi
Konsep yg pertama adalah konsep yg diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yg ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut mesti memiliki tiga elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yg terpuji, beserta kebijaksanaan yg membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yg ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yg lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’. Memang itu yg dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figur phronimos atau ‘sang bijak’ ala Aristoteles. Masalahnya, disaat ini kita telah mulai menuju ke arah pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini merupakan pengingkaran dari proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa?
Seperti kritik William Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme & elitisme. Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut buat mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena & oleh karena, profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu tadi? Jika memang hakim sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yg mempertanyakan integritas para hakim agung seperti yg telah terjadi di
Selanjutnya, di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran budaya hukum ‘klasik’ ke budaya hukum ‘modern’ ini dgn positif. Proses perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari sebuah kartel atau sindikat yg berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar & regulasi pemerintah, beserta pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional hukum yg ideal adalah seorang sociaal engineer. Dia mesti lebih terorientasi pada penelitian empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, beserta mesti lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yg menitikberatkan pada interpretasi teks & argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu yg otonom.
Masalahnya, perihal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum mesti memiliki satu landasan baru, karena dia akan lepas dari asas-asas beserta doktrin-doktrin moral yg menjadi penyangganya. Buat perihal ini, Posner kemudian meletakkan ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan, akan dianalisa dgn prinsip ekonomi, dgn kata lain, nilai kebaikan hanya diukur dgn pendekatan material. Pandangan tersebut tentu saja kontroversial, mengingat dgn begitu Posner telah menegasikan muatan politik & moral yg terkandung di dalam hukum. Hukum mesti melek sejarah, dalam arti tidak bisa mengesampingkan interpretasi teks & sejarah lahirnya teks, beserta tidak akan hanya bisa didasarkan pada instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang dari ahli-ahli teori hukum Belanda, A.M. Hol & M.A. Loth, dalam sebuah artikel mereka yg berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol & Loth konsep Posner ini miskin nilai-nilai moral & hanya akan membawa kita pada pragmatisme.
Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu kondisi yg dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam pragmatisme yg bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di samping mengkritik, Hol & Loth juga memberikan konsep jalan tengah. Menurut hemat penulis konsep ini merupakan konsep jalan ke tiga atau konsep ‘postmodernisme’.
2.3 Konsep Jalan Ke Tiga
Meminjam pendapat Gus Dur dalam artikelnya berjudul Budaya Kita di Masa Peralihan (22 Juni 2004), penulis akan mencoba menuliskan kembali dasar pemikiran yg cukup dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama: “Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” (Tetap menggunakan hal-perihal lama yg baik, & hanya menggunakan hal-perihal baru yg lebih baik). Begitulah kurang lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan ke tiga yg ditawarkan oleh Hol & Loth di mata penulis. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’ memang telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita tolak mentah-mentah atau justru kita ikuti dgn membuta. Hukum ‘klasik’, bagaimanapun rentannya, telah meninggalkan asas-asas beserta doktrin-doktrin hukum yg akan menyangga berdirinya institusi hukum.
Meski begitu, berdirinya institusi tersebut tidak lagi hanya bisa didasarkan pada kharisma atau wibawa profesional hukumnya saja. Lebih dari itu, institusi tersebut mesti merupakan sebuah instrumen keadilan yg memang dapat menjadi cerminan dari nilai keadilan yg hidup di masyarakat. Namun, bukankah modernisasi telah membawa kita pada situasi di mana setiap elemen di dalam masyarakat memiliki standar keadilan sendiri-sendiri, sesuai dgn kepentingan & keinginan mereka masing-masing?
Buat itu Hol & Loth meminjam konsep keadilan prosedural ala John Rawls dalam A Theory of Justice (1973) sebagai sebuah alternatif dalam menghadapi era perubahan ini. Keadilan prosedural tersebut meletakkan titik berat pada proses lahirnya keadilan, bukan pada keadilan yg dihasilkan. Ini tentu saja logis, mengingat perubahan masyarakat tentu akan membawa perubahan pada cara pandang masyarakat terhadap suatu masalah. Misalnya saja, seperti pernah penulis tuliskan sebelumnya, pengertian kerugian immaterial dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Namun, bagaimana akhirnya proses pengakuan ganti rugi atas kerugian itu sendiri terjadi, tidak berubah dari prinsip dasar, yaitu melalui sebuah proses peradilan yg jujur & adil. Bagaimana sebuah proses peradilan dapat tetap menjaga nilai kejujuran & keadilan tersebut?
Penulis kembali pada analisa Hol & Loth yg menempatkan prosedur peradilan sebagai sebuah sistem. Artinya, seorang profesional hukum mesti dinilai dari peran yg disandangnya dalam sebuah proses peradilan. Profesionalisme di mata advokat, jaksa, atau hakim tentu saja berbeda. Perbedaan ini bukan (hanya) karena mereka memiliki pandangan yg berbeda akan sebuah permasalahan hukum, namun karena mereka mesti menempati posisi-posisi yg memang berbeda dalam sebuah proses peradilan. Kita tentu tidak bisa berharap bahwa seorang advokat mesti menjadi hakim, sebagaimana juga sebaliknya, seorang hakim haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang hakim, seorang penengah. Artinya, adagium ‘audi et alteram partem’ (dengar juga dari sisi sebaliknya) mesti berlaku tanpa kecuali. Lalu, apa kepentingan tiap-tiap elemen masyarakat atas proses peradilan ini?
Perlu dicatat, bahwa Rawls mendasarkan konsep keadilan proseduralnya pada teori kontrak sosial. Artinya, proses peradilan itu akan dirasa perlu oleh seluruh elemen masyarakat, karena hanya dgn begitu kepentingan yg mereka miliki (akan) dapat terlindungi. Seluruh elemen masyarakat akan merasa berkepentingan pada adanya sebuah jaminan prosedur keadilan, karena, kalau tidak, yg terjadi adalah hukum rimba. Negaralah yg pada akhirnya memastikan bahwa proses tersebut mesti terjamin dgn baik. Kepentingan lembaga negara sendiri, tentu saja ada pada terciptanya keamanan & stabilitas politik nasional.
Pendeknya, seorang profesional hukum yg ideal di mata Hol & Loth adalah seorang iudex mediator. Dia mesti dapat menjadi penghubung antara dua pihak yg bertikai. Selanjutnya, dia juga mesti dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut dgn masyarakat, beserta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, & nilai yg ada di dalam masyarakat. Begitulah seorang profesional hukum yg ideal menurut Hol & Loth. Tidak kurang, tidak lebih.
2.4 Refleksi Etika Profesi
Setelah kita menengok gambaran konsep-konsep etika profesi yg dikembangkan oleh penulis-penulis luar di atas, pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana dgn kondisi di
Pertama, mesti dipahami & mesti terus dipahami, bahwa profesionalisme telah mulai dibentuk dari lembaga pendidikan hukum. Buat itu, lembaga-lembaga pendidikan sudah semestinya turut andil pada proses pembentukan profesionalisme ini. Semestinya, sejak jenjang S1 sudah ada satu cetak biru yg jelas tentang profil tiap-tiap mahasiswa. Belajar dari pengalaman penulis di Belanda, setiap mahasiswa hukum S-1 di Universitas
Profesi hukum sendiri adalah profesi yg luas, di mana setiap peran (notaris, advokat, jaksa, hakim, pembuat kebijakan, dsb.) memiliki karakter sendiri-sendiri. Apa yg bisa ditawarkan oleh ba& pendidikan adalah bagaimana karakter-karakter tersebut terwakili dalam profil-profil perkuliahan yg mereka tawarkan.
Ke dua, lembaga pendidikan juga dituntut mesti mampu mentransformasikan pengajaran nilai-nilai keadilan dalam konteks masyarakat terkini. Contoh menarik akan fenomena tersebut adalah dibentuknya
Perihal tersebut justru merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan hukum buat terus & terus meningkatkan kualitas didiknya. Sebagai contoh, nilai-nilai dasar dalam mata kuliah Pancasila mau tak mau mesti diterjemahkan ke dalam kondisi masyarakat terkini. Sehingga, selain merupakan doktrin, sila-sila tersebut mesti bisa menjadi landasan teoritis buat menganalisa produk-produk perundangan atau putusan peradilan yg ada. Buat itu, kerangka doktriner tersebut mesti bisa dibaca dari sudut pandang masyarakat disaat ini. Hanya dgn begitu, maka waktu yg ada tidak terbuang buat mempelajari suatu perihal yg ‘tidak berguna’. Siapa yg mesti melakukan ini semua? Sudah barang tentu para akademisi yg tergabung pada lembaga pendidikanlah yg berperan mengadakan upgrade tersebut.
Ke tiga, ‘ontran-ontran’ yg terjadi pada lembaga peradilan di
Apabila lembaga peradilan terbangun dari sebuah sistem yg kokoh, kekhawatiran sang guru besar akan manuver seorang advokat yg dapat membuat sebuah konstruksi hukum kontrak yg canggih, sehingga kliennya dapat menang tanpa melalui proses pengadilan, tentu tidak lagi beralasan. Bukankah hukum kontrak juga terikat pada nilai-nilai kelaziman & kepatutan? Bukankah nantinya pihak yg dirugikan akan selalu dapat menuntut perihal tersebut di pengadilan?
we hope TINJAUAN KRITIS TERHADAP PENEGAKAN & PELAKSANAAN ETIKA PROFESI HUKUM DEWASA INI are solution for your problem.