Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in complexu )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yg dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), & (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yg paling asli & absolut beserta meliputi kebebasan buat memilih & tidak memilih agama tertentu. Menurut konsep kebebasan di atas, maka kebenaran pribadi mesti dianggap sebagai nilai yg yg paling luhur (supreme value). Ia menghendaki komitmen beserta pertanggungjawaban pribadi yg mendalam. Komitmen beserta pertanggungjawaban pribadi ini mesti berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti negara, pemerintah, & masyarakat.
Negara
Kemajemukan agama di
Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong & pendukung arah pembangunan
Sejak negara
Dalam konteks
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi & kontekstualisasi hukum Islam yg banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, & Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik buat membuat paper dgn mengambil judul ”Kajian Kritik Terhadap Teori Receptio In Complelxu”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah perhatian Islam terhadap masyarakat?
2) Apa yg melatarbelakangi munculnya teori receptio in complexu?
3) Bagaimana menerapkan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah :
1) Buat mengetahui sejauhmana perhatian orang Islam terhadap masyarakat
2) Buat mengetahui latar belakang munculnya teori receptio in complexu
3) Buat mengetahui hubungan teori receptio in complexu terhadap pemberlakuan hukum islam di
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya penulis buat mengetahui lebih lanjut mengenai perhatian Islam terhadap masyarakat, latar belakang munculnya teori receptie, & hubungan teori receptio in complex terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat Islam & Non Islam
Kebebasan & toleransi merupakan dua perihal yg sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia, secara khusus dalam komunitas yg beragam. Persoalan tersebut menjadi lebih pelik ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yg menghambat kerukunan (tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan, mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain. Akibatnya, pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya upaya buat merukunkan umat beragam agama dgn menekankan toleransi sering kali dicurigai sebagai usaha buat membatasi hak kebebasan orang lain. Toleransi dianggap sebagai alat pasung kebebasan beragama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antarumat beragama.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dgn baik. Keduanya tidak dapat diabaikan. Namun yg sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, yaitu penekanan kebebasan yg mengabaikan toleransi, & usaha buat merukunkan dgn memaksakan toleransi dgn membelenggu kebebasan. Buat dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yg benar mengenai kebebasan
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yg melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak buat menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yg boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yg melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dgn gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 & 18.
Toleransi yg berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, & sebagainya) yg berbeda & atau yg bertentangan dgn pendiriannya. Selanjutnya, kata “toleransi” juga berarti batas ukur buat penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
Jadi, dalam hubungannya dgn agama & kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yg berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dgn agama & kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang mesti melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dgn yg lain, tapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.
Toleransi menjadi jalan terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga & seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia mesti terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban buat menghormati kebebasan orang lain?” Dgn demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dgn bertanggung jawab. Agama-agama akan semakin moderat jika mampu mempersandingkan kebebasan & toleransi. Kebebasan merupakan hak setiap individu & kelompok yg mesti dijaga & dihormati, sedang toleransi adalah kewajiban agama-agama dalam hidup bersama.
Sikap agama yg lebih moderat, tidak hanya dituntut ada dalam agama Islam, tapi pada semua agama yg ada di
Agama dalam pelaksanaan misinya tidak boleh lagi bersikap tidak peduli dgn agama-agama lain. Kemajauan suatu agama tidak boleh membunuh kehidupan agama-agama yg ada di Indonesi
Toleransi & kerukunan hidup umat beragam antara Islam & non Islam, telah diperaktekan oleh Rasulullah SAW & para sahabatnya, pada waktu itu rasulullah memimpin negara Madinah, beliau sebagai kepala negara dari komunitas negaranya, terdiri atas penganut Islam, Yahudi & Nasroni beliau memimpin masyarkat majemuk.
Dgn shahifah (piagam madinah) sebagai konstitusinya yg oleh sementara pengamat disebut sebagai the first written constitution in the world. Piagam madinah memuat pokok-pokok kesepakatan.
(1) Semua umat Islam, walaupun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas
(2) Hubungan antara komunitas Islam dgn non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga baik. Saling membantu & saling menghadapi musuh bersama. Membela mereka yg teraniyaya saling menasehati, menghormati, kebebasan beragama, kedua ke Abbesinin (Ethiopia) ketiga perlakuan adil terhadap non nISlam di pengadilan pada waktu dia berhadapn dgn Ali bin Abi Tholib (kepala negara waktu itu) & Ali bin Abi Thalib di kalahkan. Keempat kerukunan hidup umat beragama pernah di peraktekan oleh ISLam, Yahudi & Nasrani di Spanyol, sebagaimana di ungkapkan oleh Nurcholis Majid (1994:36) mengutip ungkapan Max Dimont bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintahan Islam membuat Spanyol buat tiga agama & satu tempat tidur Islam, Kristen & Yahudi hidup rukun bersama-sama menyertai perbedaan yg genting.
B. Latar Belakang Munculnya Teori receptio In Complexu
Berbicara tentang masalah hukum yg berlaku terhadap golongan Bumi Putera, yaitu hukum adat bangsa
Teori ini menyatukan bahwa hukum adat bangsa
Materi teori ini kemudian dimuat dalam pasal 75 RR (Regering Reglement) tahun 1855. pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Jadsdiensnge Wetten) & kebiasaan penduduk Indonesia itu” pada masa teori ini berlaku, kemudian antara lain Sibi 882 No. 152 tentang pembentukan pengadilan agama (Priensterand) di samping pengadilan negeri (landrand). Berdasarkan pasal 75 dgn mengacu kepada teori RIC hukum waris yg berlaku bagi orang Islam adalah hukum waris Islam & menjadi kompetensi (wewenang) peradilan agama
Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yg mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa & Madura, merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yg dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927). Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yg dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukun Islam-lah yg berlaku baginya. Dgn adanya teori receptio in Complexu maka hukum Islam sejajar dgn dgn sistem hukum lainnya.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dgn perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak & perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven (1874 – 1933) & C.S. Hurgronje (1857 – 1936) yg dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yg dikenal dgn teori Receptie, menurut teori ini hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adat yg menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif & distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis’.
Dgn adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan buat membentuk sebuah komisi yg bertugas meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama di Jawa & Madura. Dgn bekal sebuah rekomendasi (usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yg berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama buat menangani masalah waris & lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada Landraad (Pengadilan Negeri).
C. Hubungan Teori Receptio In Complexu Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Merekonstruksi catatan sejarah yg ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam buat melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yg hidup di masyarakat, tapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi & legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tapi secara legal formal & positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yg sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih -yg dianggap representatif- telah disahkan oleh pemerintah
Setelah lahirnya Undang-Undang yg berhubungan erat dgn nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yg khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Perihal ini mempunyai nilai strategis, penyebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yg berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro & kontra keberadaan KHI nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yg digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dgn diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yg kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dgn Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seiring dgn momentum amandemen Undang-Undang tentang Peradilan Agama, maka muncul perubahan paradigma baru yakni Peradilan Agama dari peradilan keluarga menuju peradilan modern. Semula Peradilan Agama hanya menangani perkara-perkara sumir -sebagian besar masalah perceraian- kini dihadapkan pada perkara-perkara ekonomi syari’ah yg relatif baru dalam dunia ekonomi
Pluralitas agama, sosial & budaya di
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat & hukum agama buat lingkungan tertentu & subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum buat beberapa bidang kehidupan. Oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam-yg melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip unifikasi hukum memang mesti jadi pedoman, namun sejauh unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional. 14 Buat memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang yg tidak dapat diunifikasi, negara dgn segala kedaulatan & kewenangan yg ada padanya dapat mengakui atau mempertahankan Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional & RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yg disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 107. hukum yg hidup dalam masyarakat, sekalipun itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yg merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yg bersumber dari ajaran agama & hukum Barat yg merupakan peninggalan kolonialis.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yg berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum & Pemerintahan & wajib menjunjung Hukum & Pemerintahan itu dgn tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yg sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dgn prinsip di atas penyebab bunyi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk buat memeluk agamanya masing-masing & buat beribadat menurut agamanya & kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini mesti dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin buat melakukan aktifitas keperdataan sesuai dgn konsep syari’at Islam sebagai keyakinan yg dianutnya.
Hadirnya hukum ekonomi syari’ah dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran & kesadaran buat mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development (hukum sebagai sarana pembangunan), agent of modernization (hukum sebagai sarana modernisasi) & hukum sebagai a tool of social engineering (sarana rekayasa sosial)22. Namun dgn bertambahnya kewenangan tersebut belum diimbangi dgn kesiapan sarana hukum sebagai rujukan hakim dalam memutus perkara. Oleh karena itu adanya produk legislasi yg mengatur tentang ekonomi syari’ah sudah sangat mendesak & urgen yg pasti akan dirasakan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keberadaan peraturan perundang-undangan yg mengatur tentang ekonomi syari’ah yg akan datang adalah buat mengisi kekosongan hukum subtansial yg dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat masih tersebarnya hukum materiil Islam khususnya yg berkenaan dgn ekonomi syari’ah di berbagai kitab fikih muamalah,25 sehingga gagasan legislasi fikih muamalah dapat dipandang sebagai upaya unifikasi madzab dalam hukum Islam.
Dgn demikian, kehadiran undang-undang yg mengatur kegiatan ekonomi syari’ah akan datang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena kehadirannya di satu sisi buat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan sebagai landasan bagi hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya diperlukan intervensi negara dalam pembentukan & pengaturannya karena berhubungan dgn ketertiban umum dalam pelaksanaannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralitas agama, sosial & budaya di
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak yg melekat pada manusia karena ia adalah manusia. Hak buat menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, tidak ada seorang pun yg boleh mencabutnya. Negara pun tidak berhak merampas hak tersebut dari setiap individu. Pengakuan hak kebebasan beragama yg melekat dalam setiap individu tersebut dinyatakan dgn gamblang dalam deklarasi universal HAM Pasal 1 & 18.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi,
Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Islam di Indonesia.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam.
Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar,
Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.
we hope Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in complexu ) are solution for your problem.