HUKUM PERIKATAN KESEPATAKAN DILUAR SIDANG ATAS HAK PERWALIAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Putusnya sebuah perkawinan antara suami & istri akan membawa akibat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada anak yg dihasilkan dari perkawinan tersebut, namun putusnya sebuah perkawinan tidak berarti pula putusnya hubungan antara orang tua dgn anak. Pemeliharaan anak mesti selalu diperhatikan demi kepentingan & kesejahteraan anak tersebut. Kewajiban memelihara anak tersebut bukanlah hanya buat ayah atau ibu saja tapi kewajiban tersebut merupakan kewajiban dari kedua orang tua kepada anak-anaknya meskipun tali perkawinan antara ayah & ibu sudah putus.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesepakatan/Perjanjian
Buat mengetahui apa yg dimaksud dgn perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dgn mana satu orang atau lebih lainnya”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a) Hanya menyangkut sepihak saja, perihal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c) Pengertian perjanjian terlalu luas
d) Tanpa menyebut tujuan
e)
f)
1. syarat ada persetuuan kehendak
2. syarat kecakapan pihak- pihak
3. ada perihal tertentu
4. ada kausa yg halal
Asas- asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yg perlu diketahui. Asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini:
1) system terbuka (open system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Sering disebut asas kebebasan bertindak.
2) Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yg membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri.
3) Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak.
4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yg dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak & kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.
Jenis –jenis Perjanjian
1) Perjanjian timbal balik & perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah perjanjian yg memberikan kewajibannya kepada satu pihak & hak kepada satu pihak & hak kepada pihak lainnya, misalkan hibah.
2) Perjanjian percuma & perjanjian dgn alas hak yg membebani
3) Perjanjian bernama & tidak bernama
4) Perjanjiankebendaan & perjanjian obligatoir
5) Perjanjian konsensual & perjanjian real
Syarat- syarat sah Perjanjian
Perjanjian yg sah artinya perjanjian yg memenuhi syarat yg telah ditentukan oleh undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
Akibat Hukum Perjanjian yg Sah
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yg dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPdt berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yg membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yg cukup menurut undang- undang, & mesti dilaksanakan dgn itikad baik,
Pelaksanaan Perjanjian
Yg dimaksud dgn pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak & kewajiban yg telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran & penyerahan barang yg menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran & penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dgn penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
2.2 Kesepakatan di Luar Sidang Atas Hak Perwalian Anak
Pengaturan mengenai kesejahteraan bagi anak tertuang dalam Undang undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 9 di nyatakan bahwa:
Tanggung jawab orang tua terhadap kelangsungan hidup anak mengandung kewajiban memelihara & mendidik anak sedemikian rupa sehingga anak dapat tumbuh & berkembang menjadi orang yg cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertaqwa kepada Tuhan Yg Maha Esa & berkemampuan buat meneruskan cita-cita bangsa.[1]
Selama perkawinan masih utuh, kekuasaan atas anak-anak mereka yg dilahirkan dalam perkawinan tersebut berada pada orang tua mereka. Ketika kedua orang tua mereka bercerai maka penguasaan atas anak tersebut berada pada salah satu diantara mereka, bukan berarti pihak yg lain terbebas dari kewajiban tapi pihak yg lain juga mempunyai kewajiban memelihara & mendidik anak tersebut.
Seorang anak tidak berada dalam kekuasaan orang tua dapat disebabkan karena orang tuanya bercerai atau salah satu dari kedua orang tuanya meninggal dunia. Anak dari hasil perkawinan tentunya berada dibawah kekuasaan orang tuanya sampai si anak dapat hidup mandiri sebagai perwuju& dari kewajiban orang tua dalam membesarkan anak-anaknya, tapi disisi lain kekuasaan itu dapat dicabut karena dianggap jika berada dibawah kekuasaan orang tua tersebut makan akan merugikan si anak karena kurang mendapat haknya/perlindungan dari orang tua yg akan mempengaruhi kondisi lahir maupun batin si anak, & kelangsungan masa depannya.[2]
Kekuasaan orang tua terhadap anak dapat dijalankan hanya oleh seorang dari kedua orang tua si anak, perwalian hanyalah ada bilamana seorang atau beberapa orang anak tidak berada dibawah kekuasaan orangtuanya sama sekali, tapi putusnya perkawinan antara kedua orang tua atau meninggalnya salah seorang dari kedua orang tua & dicabutnya kekuasaan salah seoang dari kedua orang tua tidak dgn sendirinya mengakibatkan anak berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila dalam putusnya perkawinan kedua orang telah menyerahkan anaknya dibawah kekuasaan wali atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, maka dgn sendirinya anak berada di bawah kekuasaan wali.
Pengaturan hak perwalian buat anak di bawah umur berdasarkan ketentuan hukum yg berlaku di
Pengaturan perwalian sesuai dgn Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab XI Pasal 50-54. kesimpulannya adalah: anak yg berada dibawah perwalian adalah anak yg dibawah umur atau belum berumur delapan belas (18) tahun yg belum pernah melaksanakan sebuah ikatan perkawinan & tidak sedang berada dibawah kekuasaan dari orang tua melainkan dibawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut tiada lain adalah mengenai perihal ihwal daripada pribadi si anak & lapangan harta bendanya.
Mengingat bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara & mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, perihal ini biasanya memicu berbagai macam persoalan & perselisihan antara kedua belah pihak, bilamana ada perselisihan diantara keduanya & buat menyelesaikan permasalahan tersebut diambil jalur damai buat mencapai mufakat dgn kesepakatan-kesepakatan yg dibuat & disetujui masing-masing pihak buat mengambil hak atas perwalian anak.
Kata sepakat sendiri bertujuan buat menciptakan suatu keadaan dimana pihak-pihak yg mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kehendak.
Menurut Riduan Syahrani bahwa:
Sepakat mereka yg mengikatkan dirinya mengandung bahwa para pihak yg membuat perjanjian telah sepakat atau ada persetujuan kemauan atau menyetujui kehendak masing-masing yg dilakukan para pihak dgn tiada paksaan, kekeliruan & penipuan.[3]
Perjanjian seharusnya adanya kata sepakat secara suka rela dari pihak buat sahnya suatu perjanjian, sesuai dgn ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yg mengatakan bahwa:
Tiada sepakat yg sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dgn paksaan atau tipuan.[4]
Adanya suatu kesepakatan perdamaian yg dilakukan oleh para pihak mengenai hak perwalian tidak dijelaskan secara terperinci dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan, sebagai pengantar bahwa, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yg satu berhak menuntut sesuatu perihal dari pihak yg lain, & pihak yg lain berkewajiban buat memenuhi tuntutan itu.
Kesepakatan atau kata sepakat merupakan bentukan atau merupakan unsur dari suatu perjanjian (Overeenkomst) yg bertujuan buat menciptakan suatu keadaan dimana pihak-pihak yg mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kesepakatan atau tercapainya suatu kehendak.
Perjanjian seharusnya di laksanakan dgn adanya kata sepakat secara suka rela & para pihak buat sahnya suatu perjanjian, perihal tersebut sesuai dgn ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata.
Perjanjian yg dibuat oleh para pihak akan mengikat seperti undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, ditetapkan bahwa perjanjian mesti dilaksanakan dgn itikad baik, maksudnya bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dgn kepatuhan & keadilan sehingga tidak akan teijadi kelalaian atau Wanprestasi, dimana wanprestasi bisa terjadi jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi sebagaimana yg telah ditentukan dalam perjanjian tersebut.
Azas Consensualitas mempunyai pengertian yaitu pada dasarnya perjanjian terjadi sejak detik tercapainya kesepakatan, dimana perjanjian tersebut mesti memenuhi persyaratan yg ada, yaitu yg tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dgn demikian jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika suatu peijanjian yg dibuat oleh kedua pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu adalah batal demi hukum.
Pengaturan perwalian di Indonesia tertuang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menurut Undang-undang tersebut pada dasarnya perwalian dilakukan terhadap seorang anak yg belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan & tidak sedang dalam berada dibawah kekuasaan orang tua, baik mengenai pribadi si anak maupun harta kekayaan (pasal (1) dan(2)).
KUHPerdata mengatur perwalian anak yaitu dalam Bab XV dari Buku I, Pasal 330. kesimpulannya adalah bahwa perwalian pada hakekatnya mengatur pemeliharaan anak belum dewasa, tanpa melihat ada tidaknya hubungan keluarga antara si anak & walinya. Anak yg belum dewasa adalah anak yg belum mencapai umur /genap dua puluh satu (21). Dalam setiap perwalian terdapat seorang wali, kecuali yg ditentukan dalam pasal 351 & 361 KUHPerdata, yaitu apabila wali seorang ibu kawin lagi maka suaminya menjadi wali pengganti.
Syarat-syarat buat menjadi wali tertuang dalam Pasal 51 Undang-undang Perkawinan. Kekuasaan atas hak wali anak dapat dicabut jika salah satu dari kedua orang tua itu memenuhi ketentuan Pasal 49 (1) huruf a & b.
[1] Undang undang Nomor 4 Tahun 1979. Tentang Kesejahteraan Anak.
[2] Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan.
[3] Riduan Syahrani, Seluk Beluk & Asas-asas Hukum Perdata, Alumni.
[4] Subekti & Titrosudibio, KUHPerdata, P.T. Paramita,
we hope HUKUM PERIKATAN KESEPATAKAN DILUAR SIDANG ATAS HAK PERWALIAN ANAK are solution for your problem.