AGROEKOLOGI INDONESIA
Geografis & Topografis
Secara geografis, Indonesia terletak antara 5,40 LU & 10,80 LS & terdiri dari gugusan beribu-ribu pulau yg tersebar diantara Luatan Hindia & Lautan Pasifik beserta Laut Cina Selatan.
Sesuai dgn proses pembentukannya yg dicirikan oleh banyaknya pegunungan, keadaan fisiografi Indonesia sangat beragam, baik bentuk wilayah, kemiringan, maupun ketinggiannya dari permukaan laut. Keragaman tersebut menyebabkan terdapatnya aneka ragam tipe lahan di Indonesia. Dari wilayah dataran yg sempit (Pantai Barat Sumatera & Jawa bagian Barat) hingga yg lebar (Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, & Irian Jaya bagian Selatan).
Ketinggian tempat dari muka laut bervariasi dari 0 m (pantai) higga 5.030 m (puncak Jaya Wijaya Irian Jaya bagian Selatan).
Ketinggian tempat dari muka laut bervariasi dari 0 m (pantai) hingga 5.030 m (Puncak Jaya Wijaya di Irian Jaya).
Dataran yg cukup luas (lebar) yg biasanya terdapat sungai-sungai besar kebanyakan merupakan daerah berdrainase jelek berupa rawa lebak ataupun pasang surut, seperti di Sumatera bagian Selatan & Kalimantan. Wilayah pegunungan & dataran tinggi umumnya berupa hutan hujan tropis yg cukup lebat dgn beranekaragam tipe vegetasi & jenis tumbuhan alamiah.
Dari hampir 192 juta ha total wilayah Indonesia, sekitar 24 juta ha telah diusahakan sebagai lahan pertanian, 114 juta sebagai hutan dalam berbagai kategori, siswanya dalam bentuk padang rumput, padang alang, danau, sungai & lain-lain.
Secara umum Indonesia dinyatakan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropics) yg isohyper-themic. Penciri utama iklim di Indonesia adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh keragaman suhu yg sangat ditentukan oleh tinggi tempat dari permukaan latu (attitude).
Pada umumnya iklim Indonesia dikendalikan oleh peredaran Angin Monsoon Asia, Angin Passat (trade winds) & berbagai angin local yg banyak terkait dgn kondisi fisiografi & posisi geografisnya. Indonesia merupakan zone pertemuan angin yg bertiup dari belahan bumi utara dgn angin dari belahan bumi Selatan yg dikenal dgn zone konvergensi inter tropik (inter-tropical convergence zone ITCZ).
Embut (fluktuasi) intensitas penyinaran surya potensial di Indonesia relatif kecil. Lama penyinaran & interaksi radiasi actual di permukaan cenderung berkorelasi negatif dgn curah hujan.
Suhu rata-rata dari musik kemusim mempunyai keragaman hanya 2-50 dgn pola yg hampir mengikuti radiasi surya. Keragaman suhu antara satu dgn lain lokasi sangat terkait dgn tinggi tempat di atas permukaan laut. Diperkirakan suhu minimum turun sekitar 50 C & suhu maksimum sekitar 60C dgn peningkatan tinggi tempat 1000 m dpl.
Embut & keragaman kelembaban udara & angin umumnya masih dalam kisaran toleransi tanaman. Hanya pada beberapa lokasi & waktu tertentu ia bersifat ekstrim terhadap tanaman dan/atau khusus tertentu, seperti kelembaban yg tinggi dalam kaitannya dgn penyakit & proses pembungaan tanaman. Kelembaban nisbi rata-rata beberapa lokasi pada umumnya berkisar antara 60-96%.
Musim & Agroklimat
Embut, sifat, & keragaman musim di Indonesia selalu dikaitkan dgn curah hujan, yaitu musim hujan (MH) & musim kemarau (MK). Tapi bila ditilik lebih rinci menurut wilayah & dominasi sirkulasi udara atau angin musim, di Indonesia terdapat 4 periode yg kondisi iklim & cuacanya agak berbeda, yaitu periode Desember-Januari-Februari, Maret-April-Mei, Juni-Juli-Agustus, & September-Oktober November.
Selama periode Desember –Januari-Februari, bertiup Angin Passat Timur Laut dari Laut Cina Selatan & Lautan Pasifik yg mencapai kawasan Indonesia sebagai Angin Passat Barat Daya. Di kawasan Indonesia bagian Tenggara, angin tersebut merupakan angin barat yg agak divergen (memencar).
Periode Maret-April-Mei sebagai musim peralihan antara musim hujan & musim kemarau, Angin Passat Barat Daya mulai melemah, kecuali di sekitar Maluku & Irian Jaya, sedangkan Angin Monsoon dari Lautan Hindia menguat sejajar katulistiwa yg onshore (bertiup menghadap garis pantai) dgn pantai barat Sumatera & Kalimantan.
Periode Juni-Juli-Agustus merupakan periode paling kering disebagian besar wilayah Indonesia. Hanya beberapa daerah yg mendapatkan hujan cukup tinggi, sebagai akibat angin local & pengaruh akhir dari Monsoon.
Selama periode September-Oktober-Nopember ITCZ kembali menuju Selatan & Angin Passat & Angin Monsoon dari barat mulai menguat menuju timur.
Oleh Boerman (7) curah hujan di Indonesia dibedakan atas 153 pla/tipe curah hujan dgn kisaran jeluk 500-7000 mm/tahun & 0-700 mm/bulan. Menurut Oldeman et al. (22, 23, 24, 25), bila dikaitkan dgn kebutuhan tanaman, terutama tanaman pangan, curah hujan Indonesia dapat disederhanakan menjadi 14-17 tipe agroklimat.
Buat budidaya tanaman pangan di Indonesia dgn berbagai alternatif komoditas & kombinasi komoditas, secara umum & sederhana, pembedaan wilayah menurut iklim dapat dikaitkan dgn lamanya musim bertanam (growing period) & suhu udara.
Stratifikasi musim bertanam didasarkan oleh umur tanaman pangan kebanyakan berkisar antara 2-3,5 bulan. Sehingga buat tempat dgn musim pertanaman > 9 bulan dapat diusahakan 3 kali pertanaman, 6-9 bulan dapat diusahakan 2-3 kali pertanaman, 4-6 bulan diusahakan 1-2 kali pertanaman, <4>
Tanah
Menurut Dudal & Supraptohardjo (10) di Indonesia terdapat 11 Kelompok Tanah Utama (Great Soil Group), yaitu:
Latosol (diseluruh Kepulauan, kecuali Maluku),
Podsol (Kalimantan)
Podsolik Merah Kuning (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, & Halmahera),
Podsolik Coklat Kelabu (Irian Jaya, Halmahera, Maluku, Sumatera, & Sulawesi)
Grumusol (Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara)
Andosol (Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara)
Rendzina (Maluku),
Tanah Organik (Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya)
Beberapa jenis tanah lainnya seperti Hidromorfik, Gleihumik, & Planosol juga ada, namun terdapat pada areal yg sempit. Beberapa tanah juga dapat dikelompokkan berdasarkan sifat/ciri khas kendala (bagi tanaman), misalnya tanah sulfat masam, tanah salin, tanah alkalin, & tanah keracunan besi.
Tanah di Indonesia mempunyai produktivitas yg berbeda akibat adanya perbedaan kesuburan & sifat fisiknya. Tanah-tanah di daerah beriklim basah lebih banyak bersifat masam & kurang subur (seperti di Indonesia bagian barat), sedangkan di daerah beriklim kering (seperti di Indonesia bagian timur) lebih subur namun sifat fisiknya sering menjadi penghambat dalam pengelolaan pertanian (sering berbatu atau berpasir). Tanah-tanah Grumusol, Andosol, Mediteran, Aluvial, & Latosol mempunyai sifat yg baik bagi pertanian & umumnya siap digunakan. Tanah Regosol & Rendzina hanya terdapat di daerah yg sempit & umumnya dangkal, curam, dan/atau peka terhadap erosi. Tanah Podsolik Coklat Kelabu, Podsolik merah Kuning, & Podsol sebagian besar mempunyai faktor yg pembatas buat pertanian.
Pengelompokan tanah tersebut bertujuan buat menyederhanakan sifat/ciri tanah yg erat kaitannya dgn kebutuhan paket tekonologi tanaman pangan yg akan diterapkan.
Pengelompokkan tanah pada tingkat nasional atau skala kecil yg sesuai buat tingkat agorekologi utama di Indonesia adalah sebagai berikut:
Podsolik, Latosol, Andosol, PMK, & PCK
Aluvial, Rendzina, Planosol, & Hidromorfik
Grumosol
Regosol
Mediteran
Tanah Kompleks
PERTANIAN
Pertanian & infrastruktur
Dari sekitar 24 juta ha lahan pertanian, 16,9 juta ha berupa lahan kering termasuk perkebunan & sekitar 7,1 juta ha merupakan lahan basah. Infrastruktur yg sangat menonjol dalam mencirikan sistem usahatani, khususnya tanaman pangan adalah jaringan irigasi.
Sedangkan penciri umum yg spesifik pada suatu wilayah antara lain, adanya lahan yg selalu tergenang, lahan dataran tinggi dgn suhu yg sangat rendah, kondisi iklim yg kering atau basah.
Bentuk umum sistem usahatani di Indonesia dapat dibedakan antara lain:
Sistem usahatani lahan sawah
Sistem usahatani lahan kering atau tegalan
Sistem usahatani lahan dataran tinggi
Usahatani perkebunan
Lahan pertanian di Indonesia dibedakan atas 6 tipe lahan atau tipe agroekologi pragmatik.
Lahan sawah beririgasi
Lahan sawah tadah hujan
Lahan kering beriklim basah
Lahan kering beriklim kering
Lahan dataran tinggi
Lahan Rawa/Pasang surut
Pertanian Tanaman Pangan
Bagi kebanyakan usahatani tanaman pangan di Indonesia beberapa faktor ekologi dibawah ini perlu diketahui buat mencapai priduktivitas optimal (28).
Masa bertanam (growing period)
Suhu udara
Sifat kimia & fisika tanah
Topografi lahan.
Pengetahuan terhadap keempat faktor ekologi tanaman di atas diperlukan buat menyusun berbagai alternatif pola tanam, pemilihan tanaman/varietas, kultur teknis yg diperlukan beserta pengelolaan tanah & pupuk.
Metodologi Pendekatan
Konsepsi Dasar Pendekatan
Tipo-agroekologi pada prinsipnya adalah pencerminan sifat fisik wilayah dalam kaitannya dgn tanaman, seperti sifat topografis, tanah, ketersediaan air & iklim. Prinsip yg sama juga digunakan dalam pembuatan peta pewilayahan agroekologi utama tanaman pangan, dimana tanaman pangan sebagai indikator utama dalam memilih & pengkriteriaan parameter yg digunakan.
Dgn mengintegrasikan berbagai sifat iklim (peta agroklimat) (2,3), topografi (8, 17) (yg disederhanakan) & kelompok tanah (dari peta tanah) (17, 18, 19, 20) diperoleh peta agroekologi alamiah. Kelompok tanah sangat menentukan cara pengelolaan lahan soil management (pengolahan, pemupukan, drainase, & lain-lain), pemilihan varietas (toleransi terhadap kahat hara, keracunan, & tekanan lingkungan lain). Pengelompokan tanah menurut sistem GSG (great soil group) ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa sistem pengelompokan tersebut lebih mencirikan sifat tanah menurut sifat genesisnya.
Pengelompokkan tanah tersebut masih sangat terbatas di Indonesia. Fisiografi atau topografi, disamping erat kaitannya dgn cara pengelolaan lahan juga menentukan suhu udara yg akan mempersyaratkan tanaman & varietas yg dapat diusahakan.
Musim bertanam (growing period) yg didasarkan kepada jumlah & lamanya curah hujan atau lamanya ketersediaan air ikut menentukan pola tanam & varietas yg ideal (umur, ketahanan kering atau banjir).
Peta agroekologi pragmatis diperoleh dgn menyederhanakan peta-peta agroekologi alamiah dgn menonjolkan & memasukkan faktor tersedianya sarana & prasarana buatan manusia (man-made infrastructure) seperti tersedianya waduk, jaringan irigasi, jalan raya, petakan sawah, sifat spesifik lahan (rawa/pasang surut, suhu rendah/dataran tinggi).
Kriteria & Klasifikasi
Peta Agroekologi Alamiah menggambarkan tipe lahan, fisiografi & iklim secara umum. Tanah dibedakan atas 4 tipe (kelompok) jenis tanah utamanya, yaitu Aluvial, Latosol, Grumosol, & Regosol dan/atau Mediteran beserta kelompok tanah Kompleks.
Sedangkan iklim juga dibedakan atas 4 tipe dgn menonjolkan lamanya masa bertanam buat tanman semusim menurut kriteria Oldeman et al. (22, 23, 24, 25) & FAO (13) yaitu dgn curah hujan rata-rata (jangka panjang) 100 mm/bulan.
Peta agroekologi pragmatis dipilih menjadi 6 wilayah atau tipe agroekologi yg terkait:
Lahan sawah beririgasi (irrigated Lowland)
Lahan sawah tadah hujan (rainfed lowland)
Lahan kering beriklim basah (dryland-wet climate)
Lahan kering beriklim kering (dryland-dry climate)
Lahan dataran tinggi (high altitude area)
Lahan pasang surut & rawa lebak (swampy/tidal areas)
we hope AGROEKOLOGI INDONESIA are solution for your problem.