SASTRA POPULER
SASTRA POPULER
Dalam dunia karya sastra “Sastra Populer” & “sastra serius” selalu menjadi bahan perbincangan yg ujung-ujungnya mentasbihkan bahwa “sastra serius” secara estetika & nilai mempunyai maqam lebih tinggi dibanding dgn “sastra populer.”
Dalam lajur dunia karya sastra susah ditemukan, atau bahkan tidak ada satuan karya yg 100 persen memperlihatkan orisinalitasnya. Selalu saja ada persamaannya dgn karya-karya sebelumnya. Banyak aspek yg dapat digunakan buat menilai orisinalitas karya sastra. Pertama dilihat dari salah satu unsurnya yg membangun karya sastra yg bersangkutan; tema, latar, tokoh, alur (jika novel); bait, larik, diksi, atau majas (jika puisi) atau tokoh, tema, latar, alur, bentuk dialog atau petunjuk pemanggungan (jika drama). Kedua, dilihat dari cara penyajiannya; bagaimana pengarang menyampaikan kisahnya (nove), citranya (puisi) atau dialog petunjuk pemanggungan (drama).
Kriteria kompleksitas (kerumitan) berkaitan dgn beban yg disandang setiap unsur. Mengingat karya sastra tidak terlepas dari pesan/tema yg diusungnya, maka tidak jarang pula muncul tuntutan buat melakukan penyelesaian atas tema bersangkutan. Dgn demikian, cara penyelesaiannya tidaklah gampang, tidak pula artifisial, & muncul tidak sebatas yg tampak dipermukaan, jika penyelesaiannya dilaksanakan secara gampang, ia akan masuk kedalam apa yg disebut sebagai sastra populer.1
Diawal kemunculannya, para penulis muda dianggap sebabgai aktor-aktor yg akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa Indonesia. Kenalkan kita dgn idiom “gitu lho …”, “sumpeh lho ? , atau “ so what , gitu lhoh ?!”?. idiom ini seperti goyangan tubuh, terus mengikuti sampai manapun kita berjalan. Para penulis tersebut mendapat kritik tajam dari para ahli bahasa, apalagi kalau bukan masalah bahasa & isi. Mereka diangggap sebagai aktor-aktor yg akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa itu sendiri.
Seperti “bacaaan liar,” sastra populer ditandai pula oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yg dianggap tak standar, yg “menyimpang” dari kaidah-kaidah bahasa yg berlaku. Karena ragam bahasa yg diguanakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yg tidak bermutu & tidak bermasa depan, sedangkan sastra serius sebaliknya.2
Menruut ario bimo kesalahan yg sering ditemui adalah mengenai kecermatn membedakan antara bahasa lisan dgn bahasa tulis. Pengarang bahasa populer kadang kala kurang memahami seperti penempatan titik & koma kalimat. Menurutnya pengabaian terhadap tata bahasa, malah akn menghilangkan unsur-unsur penting dalam novel, tokoh, alur, tema, peneceritaan & latar.
Supaya kita mengerti betul engan pentistilahan sastra populer dgn sastra serius, ada baiknya jika kita mengutip beberapa pendapat. Menurut Umar Kayam (1981:82) sebutan novel populer atau novel pop. Mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila & Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu novel hiburn tidak peduli mutunya, disebut juga novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dgn kata populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis buat “selera populer” yg kemudian dikenal sebagai bacaan populer. & jadilah istilah “pop” itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra. Sebagai kebalikan sastra populer itu adalah sastra yg “sastra”. “Sastra serius”, literature. Sastra serius, walau dapat juga berupa inovatif & eksperimental, tak akan dapat menjelajah sesuatu yg mirip dgn “main-main” (Kayam. 1981: 85-87).
Jika sebuah novel apapun pengkategoriannya, jika tidak digarap dgn optimal par pembaca akan enggan buat membelinya. Ini membuktikan bahwa novel populer pun mempunyai mutu baik nilai maupun estetika.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebalikan dari sastra populer adalah sastra yg “sastra” yg tidak main-main. Pendevinisian bahwa sastra adalah sastra sungguh tidak mencerdaskan. Karena itu bukan definisi, hanya bentuk repetisi penegasan, yg celakanya justru malah mengaburkan, dibandingkan dgn fungsi definisi itu sendiri yaitu buat menjelaskan secara terperinci. Jadi, dari pada kita memilih-milih dgn parameter yg tidak jelas, lebih baik kita menyepakati bahwa sastra serius & sastra populer tak pernah ada.3
1 Dikutip dari “Inovasi Tematik-Stilistik Novel.” Maman S Mahayana, Media Indonesia Online, II Juli 2004.
2 Dikutip dari “Bahasa Populer Dalam Dunia Sastra” Agus Rawaksiwi, Pikiran Rakyat, 24 Maret 2006.
3 Dikutip dari “Golagong’s Home” Firman Venayakasa, 31 Maret 2007.
we hope SASTRA POPULER are solution for your problem.