HUKUM ADAT DALAM PERKEMBANGAN
BAB I
PENDAHULUAN.
Hukum Adat Dalam Perkembangan
Hukum adat karena sifatnya yg tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dgn lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, & ke arah mana perubahan itu.
Hukum Adat Dalam Perkembangan: Paradigma Sentralisme Hukum & Paradigma Pluralisme Hukum.
Ada banyak istilah yg dipakai buat menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, & khusus di Indonesia – hukum “adat“1. Bagaimana tempat & bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum & pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat & masyarakat itu sendiri. Hukum ada & berlakunya tergantung kepada & berada dalam masyarakat.
Bagi penganut Paham Etatis, yg mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud sentralisme hukum, dipengaruhi positivisme hukum & teori hukum murni, maka secara struktural & sistimatik ujud hukum adalah bersumber & produksi dari negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh tempat yg memadahi. Etatis hukum timbul yg didasarkan pada teori modernitas yg memisahkan & menarik garis tegas antara zaman modern & zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum nasional, sejak timbulnya senara nasional, sebagai kesatuan yg berlaku dalam seluruh teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis & hegemoni liberal- karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yg disebut sentralisme hukum (legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum negara yg berlaku seragam buat semua pribadi yg berada di wilayah jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max Weber dikutip David Trubrek & Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yg kapitalis.yg memberikan rasionalitas & prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. Hukum modern yg dipakai di mana-mana di dunia sekarang ini pada intinya mengabdi & melayani masyarakat industri- kapitalis2
Kaedah hukum negara berada di atas kaedah hukum lain, & karenanya mesti tunduk kepada negara bebeserta lembaga hukum negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum adalah sebagai kaedah normatif yg bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku seragam, beserta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa (Bodin: 1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom upwards) di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah normatif yg hirarkis, dari lapisan yg paling bawah & meningkat ke lapisan-lapisan yg lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yg dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem hukum yg dipengaruhi idiologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan hukum jika sesuai dgn lapisan (norma, kaedah ) yg di atasnya. Khusus kaedah utama yg berada di puncak lapisan – disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yg sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam mengukur kaedah yg berada di bawahnya. Maka hukum & penalaran hukum yg berlangsung adalah sebagaimana William Twining menyebutnya sebagai proses a finite closed scheme of permissible justification. Apa yg merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam bentuk rumusan yg abstrak buat kemudian melalui proses stufenweise konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas- ke bawah, Hans Kelsen), akhirnya hukum yg semula abstrak menjadi kongkrit.3.
Sentralisme hukum yg juga disebut hukum modern, dicirikan oleh beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari 11 karakteristik hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1) hukum itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti penerapannya tidak terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara hirarkhis & birokratis; (3) sistem juga rasional yg artinya, tehnik-tehniknya dapat dipelajari dgn menggunakan logika & bahan-bahan hukum yg tersedia & (4) disamping itu hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana buat menggarap masyarakat, tidak dari kwalitas formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah & bukan merupakan sesuatu yg keramat – kaku; ekssistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatam) negara4.
Sedangkan Lawrence M. Friedman, yg membagi unsur sistem hukum dalam tiga macam: (1) Struktur, (2) substansi & (3) kultur, maka hukum modern lebih tepat menggunakan tolok ukur kultur hukum, maka hukum lebih dilihat dari sudut kegunaan (utilitarian), sehingga ia mencirikan hukum modern sebagai: (1) sekuler & pragmatis; (2) berorientasi pada kepentingan & merupakan suatu usaha yg dikelola secara sadar oleh manusia (enterprise); (3) bersifat terbuka & mengandung unsur perubahan yg dilakukan secara sengaja.
Sehingga Lawrence M. Friedman lebih dekat dgn pendapat David M. Trubek, yg memerinci konsepsi hukum modern sebagai: (1) sistem peraturan-peraturan; (2) berupa karya manusia & (3) bersifat otonom, artinya merupakan bagian dari negara tapi sekaligus juga terlepas daripadanya5.
Pada posisi (sebagai hukum modern- pen) ini hukum memperoleh penyempitan makna, karena hukum semakin menjadi sesuatu yg otonom, lepas dari realitas & nilai yg seharusnya sebagai substansi & pendukungnya. Perihal ini berakibat pada suatu keadaan hukum telah cacat sejak lahirnya, ini sebagai tragedi hukum.
Idiologi sentralisme hukum inilah sebagai ibu kandung positivisme hukum yg sering disebut hukum modern, pada paham yg paling ekstrim adalah hukum mesti dibebaskan – dimurnikan - dari nilai-nilai non hukum (etika, moral, agama), sehingga hukum sebagai bebas nilai (value free), yg dipositipkan dalam bentuk peraturan & yg bersumberkan dari negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat dominan & sebagai penopang negara penganut modern-liberal, bahkan negara ultra-modern-neoliberal, dgn didukung oleh para pengembannya (pendidikan hukum, profesional dgn standarnisasi yg ketat)
Sebaliknya yg berlawanan dgn paham sentralisme hukum adalah paham pluralisme hukum. Paham pluralisme hukum menempatkan sistem hukum yg satu berada sama dgn sistem hukum lain. Menurut Satjipto Rahardjo sejak disaat timbulnya hukum modern yg sentral dari negara, maka mulai tergusurnya jenis hukum lain seperti hukum adfat & kebiasaan lainnya. Kalaupun toh jenis-jenis hukum itu masih berlaku di sana sini, maka itus emua terjadi karena “ kebaikan hati” hukum negara ( by the grace of state law)6. Ada beberapa tipe pluralisme hukum. Tipe pertama disebut: Pluralisme Relatif (Vanderlinden 1989), Pluralisme Lemah (J.Griffith 1986) atau Puralisme hukum hukum negara (Woodman 1995:9) menunjuk pada kontruksi hukum yg di dalamnya aturan hukum yg dominan memberi ruang, implisit atau eksplisit, bagi jenis hukum lain, misalnya hukum adat atau hukum agama. Hukum negara mengesahkan & mengakui adanya hukum lain & memasukkannya dalam sistem hukum negara. Tipe kedua, yg disebut : Pluralisme Kuat atau Deskriptif (Griffiths, atau Pluralisme Dalam (Woodman) pluralisme hukum menunjuk situasi yg di dalamnya dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan, dgn masing-masing dasar legitimasi & keabsahannya7. Esmi Warasih dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa;“Penerapan suatu sistem hukum yg tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yg sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dgn nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri8
Paradigma pemahaman hukum adat & perkembangannya mesti diletakkan pada ruang yg besar, dgn mengkaji secara luas:
Kajian yg tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama beserta hukum kebiasaan;
Pemahaman hukum (adat) tidak hanya memahami hukum adat yg dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tapi juga hukum yg berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau unnamed law);
Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yg dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional & hukum lokal.
Dgn pemahaman holistik & intregratif maka perkembangan & kedudukan hukum adat akan dapat dipahami dgn memadahi.
Maka studi hukum adat dalam perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji secara positif & secara negative. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai hukum yg bersumber dari alam pikiran & cita-cita masyarakatnya. Secara negatif hukum adat dilihat dari luar, dari hubungannya dgn hukum lain baik yg menguatkan maupun yg melemahkan & interaksi perkembangan politik kenegaraan. Perkembangan hukum secara positif artinya hukum adat akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negative bagaimana hukum adat dikesampingkan & tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya hukum positif yg direpresentasikan oleh Negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Sebagaimana dinyatakan: hukum adat sebenarnya berpautan dgn suatu masyarakat yg masih hidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya buat kehidupan kota modern mulai dipertanyakan.
Hukum adat dalam perkembangannya dewasa ini dipengaruhi oleh: Politik hukum yg dianut oleh Negara & metode pendekatan yg digunakan buat menemukan hukum adat.
Hukum adat dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui Soepomo, berpendapat: bahwa tiap hukum merupakan suatu system, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran9Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,16 merekomendasikan beberapa perihal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia & mesti betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-perihal sebagai berikut:
Hukum Nasional mesti merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dgn pengertian bahwa hukum nasional itu mesti berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila mesti dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang & sedapat-dapatnya juga di masa yg akan datang;
Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat & hukum barat, melainkan mesti terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yg baru sesuai dgn kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yg baru pula;
Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yg baru itu secara substansial mesti benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yg hendak diciptakan itu juga sesuai dgn tujuan kita buat mencapai masyarakat yg adil dalam kemakmuran beserta makmur dalam keadilan.10
III. Hukum
Pengertian Hukum Adat.
Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yg terjadi, bila meminjam istilah Spradley & McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; & b) cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan & penyusunan kebijakan.11 Catatan penting yg dapat diberikan berkenaan dgn Law and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam perihal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup buat pembangunan ekonomi; adanya ‘the rule of law’ cukup menolong, namun belum mencukupi buat melaksanakan pembangunan politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan perihal penting yg utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yg unik, aspek kultural, ekonomi, politik beserta sumberdaya alam & manusia; & negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya sendiri mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998).12
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yg melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck Hourgronye, yg pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum adat), & ia sebagai peletak teori Receptie13, ia memandang hukum adat identik dgn hukum kebiasaan14. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini buat menunjukkan bentuk-bentuk adat yg mempunyai konsekwensi hukum15.
Kemudian dilanjutkan oleh van Vallenhoven dgn pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum mesti memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), & (3) menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap), hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dgn mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yg dikemukakan oleh John Chipman Grey menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
Mengkaji hukum adat dari berbagai sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yg disebut hukum adat, akan menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya, & hukum adat akan mampu menyesuaian dgn kebutuhan & tuntutan dalam masyarakat yg akan terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis menjadi penting sekali buat dapat melihat, memahami & mempelajari perkembangan hukum adat atau hukum adat dalam perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yg dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukum adat.
Kluckhon mengemukakan: nilai merupakan “a conception of desirable” (suatu konsepsi yg diinginkan). Maka nilai ada beberapa tingkatan, yaitu:
Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak & tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kebersamaan & lain sebagainya.
Nilai subsider berkenaan dgn kegunaan, karena itu lebih berbicara hal-perihal yg bersifat kongkrit. Maka hukum lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yg berguna buat memecahkan persoalan kongkrit yg sedang dihadapi masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dgn kebutuhan & perkembangan & menjawab persoalan yg ada dalam masyarakat. Hukum - termasuk hukum adat - sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat & dipahami.
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yg menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yg berlaku di kalangan masyarakat yg tidak berbentuk peraturan-perundangan yg dibentuk oleh penguasa pemerintahan16. Beberapa definisi hukum adat yg dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
Prof.Van Vallenhoven, yg pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yg berlaku bagi orang pribumi & timur asing pada satu pihak yg mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) & pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)17. Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok buat mendeskripsikan apa yg dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan buat Hukum Adat pada masa kini18.
Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yg tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yg hidup sebagai konvensi di badan-ba& hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi & sebagainya), hukum yg hidup sebagai peraturan kebiasaan yg dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa19.
Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yg kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan & bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat20
Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yg bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yg pada umumnya tidak tertulis yg oleh masyarakat dianggap patut & mengikat para anggota masyarakat, yg bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu mesti dipertahankan oleh petugas hukum & petugas masyarakat dgn upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi)21.
Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dgn ciri khas yg merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan & kesejahteran masyarakat & bersifat kekeluargaan22.
Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yg bersumber apada perasaan keadilan rakyat yg selalu berkembang beserta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).23
Seminar Hukum Adat & pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yg tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yg disana sini mengandung unsur agama.24
Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yg disebut das sollen, tapi pertama kali mesti mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis, yg merupakan genusnya25
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan buat mempertahankan Hukum Adat padaperihal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat mesti diganti, padaperihal di desa-desa, di ladang-ladang & di pasar-pasar hukum itu masih kokoh & kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka26. Dgn kata lain memahami hukum adat mesti dilakukan secara dinamik, & selaras antara atas – yg memutuskan – & bawah yg menggunakan - agar dapat diketahui & dipahami perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yg hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yg nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yg hidup dalam masyarakat (living law) yg lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yg tumbuh & berkembang dgn sendirinya di dalam masyarakat, yg menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat buat hukum yg tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yg tidak terucapkan dalam hukum tertulis27.
Azas azas Hukum Adat
Hukum adat yg tumbuh dari cita-cita & alam pikiran masyarakat Indonesia, yg bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
Azas Gotong royong;
Azas fungsi sosial hak miliknya;
Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
Azas perwakilan & musyawaratan dalam sistem pemerintahan
Sifat Corak Hukum Adat.
Sifat Hukum Adat.
Hukum adat berbeda dgn hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yg bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yg menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:
Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);
Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis & plastis
Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan & kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan28: Dgn perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yg berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tapi juga di Eropa & Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yg masih bersifat pra industri di luar Indonesia.
Corak Hukum Adat
Soepomo29 mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yg merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan & cara berfikir yg tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
Mempunyai sifat kebersamaan yg kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yg erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
Mempunyai corak magisch – religius, yg berhubungan dgn pandangan hidup alam Indonesia;
Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya & berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yg kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yg kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dgn suatu ikatan yg dapat dilihat (atau tanda yg tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat 30:
Segala bentuk rumusan adat yg berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yg menjalankan hukum adat buat banyak mempunyai pengetahuan & pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yg utuh;
Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dgn azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat & keadaan beserta segalanya diukur dgn azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, & keselarasan dalam hidup bersama;
Pemberian kepercayaan yg besar & penuh kepada para petugas hukum adat buat melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku & dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dgn kepercayaan terhadap yanag gaib & atau berdasarkan Ketuhanan Yg Maha Esa.
Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yg yen mati melu kelangan (Jw).
Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang & tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)
Terbuka & Sederhana;
Dapat berubah & Menyesuaikan;
Tidak dikodifikasi;
Musyawarah & Mufakat;
Sifat & corak hukum adat tersebut timbul & menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dgn kultur & corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir & paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan & aktifitas yg disebut modern.
BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT:PARADIGMA THEORI
Hukum akan selalu menyesuaian dgn perkembangan & kebutuhan masyarakat yg senantiasa terus berubah. Mengenai perkembangan baru dalam Hukum Adat, diketengahkan teori Prof Koesnoe, yg menyatakan : bahwa perkembangan hukum adat itu mencakup : 1. Pengertian daripada Hukum Adat, 2. Kedudukan Hukum Adat, 3. Isi & lingkungan kuasa atas orang & ruang.. Dgn titik tolak pendapat Koesnoe & penjabaran Abdulrahman, maka penulis membuat tabulasi perkembangan hukum adat sebagai berikut:
Table: 1
PERKEMBANGAN PENGERTIAN HUKUM ADAT
-
1
Perkembangan awal
Adat yg mempunyai sanksi
2
Berkembang
Segala keputusan-keputusan yg diambil penguasa adat dalam lingkungan masyarakat & dalam hubungannya dgn ikatan structural masyarakatnya.
3
Setelah itu
Hukum Adat dilihat sebagai hukum yg lahir langsung dari pikiran & cita-cita beserta kebutuhan rakyat Indonesia;
4
Akhirnya
Hukum yg lahir dari kepribadian bangsa Indonesia, singkatnya hukum nasional bangsa kita atau hukum asli Indonesia
Mencari pengertian baru mengenai hukum adat sebagai hukum nasional bangsa Indonesia, atau hukum asli Indonesia perlu dirumuskan konsepnya secara jelas, dgn menyegarkan kembali pemahaman atas akar hakekat sumber hukum adat, dgn skema, sebagai berikut:
Corak hukum adat diubah dari relegio-magis, komun, konkrit, kontan yg bersifat tradisional- agraris, maka guna memenuhi kebutuhan & tuntutan perkembangan masyarakatnya, oleh Achid Masduki diharapkan mengarah kepada & menjadi religius-rasional, keseimbangan individu & masyarakat, konsensual, abstrak33
Table:2
PERKEMBANGAN ATAS KEDUDUKAN HUKUM ADAT
-
1
Perkembangan awal
Hukum buat golongan tertentu; golongan masyarakat asli, timur asing tertentu
2
Perkembangan
Hukum yg membawa bentuk semangat kebangsaan
3
Perkembangan selanjutnya
Hukum Nasional
4
Akhirnya
Hukum Pancasila
Table: 3
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT ATAS LINGKUNGAN KUASA ATAS ORANG & RUANG
-
1
Perkembangan awal
Diisi dalam taraf ilmu pengetahuan sesuai dgn waktunya, dgn ketentuan yg letaknya pada taraf kebiasaan dari golongan suku-suku yg ada
2
Perkembangan
Ditarik kepada pokok-pokok ketentuan yg abstrak, sehingga diversitas isinya menjadi tampak berkurang
3
Perkembangan selanjutnya
Ditarik lebih jauh lagi yakni kepada azas-azas hukum adat.
4
Akhirnya
Diarahkan kepada nilai-nilai hukum yg hidup di dalam masyarakat. Semakin abstrak pengisiannya, semakin lebih luas daya mencakup lingkungan kuasa atas orang & ruangnya sehingga akhirnya berlaku secara Nasional
Sumbangsih Hukum adat bagi pembentukan hukum nasional, adalah dalam perihal pemakaian azas-azas, pranata-pranata & pendekatan dalam pembentukan hukum34. Sumbangsih hukum adat misalnya dalam kontrak bagi hasil (bidang perminyakan), bidang hukum tanah & hukum perumahan (khususnya rumah susun) & azas pemisahan horizontal dapat digunakan dalam pembentukan hukum nasional.
Hukum adat dgn ciri & sifatnya beserta unsur-unsur yg melekat dalam hukum tersebut, maka hukum adat mampu berkembang sesuai dgn beserta mengikuti kebutuhan & perkembangan jaman. Perkembangan hukum adat dalam dilihat dari substansinya & melalui sumber-sumber hukum yg tersedia. Oleh karena itu substansi & pengakuan hukum adat dapat tercermin dalam :
Dalam Dokrin
Prof Satjipto Raharjo:
Hukum adat dalam hubungannya dgn industrialisasi, maka bisa menggunakan pendekatan fungsional. Artinya, kehadiran hukum dalam masyarakat menjalankan fungsinya sebagai sarana penyalur proses-proses dalam masyarakat sehingga tercipta suasana ketertiban tertentu. Hukum lalu menjadi kerangka bagi berlangsungnya berbagai proses tersebut sehingga tercipta suatu suasana kemasyarakatan yg produktif.
Dalam Perundang-undangan
Perundang-undang merupakan produk formil hukum yg dibuat oleh ba& yg berwenang, muatan materi yg diatur dalam perundang-undangan adalah termasuk mengatur hukum yg bersumber pada hukum adat.
Dalam yurisprudensi;
Kebiasaan ( covention, customary law, common law)
Dalam Hukum Lunak (Solf Law)
Soft forms of regulation are applied both in international society and in societies at national or even regional level, in the case of the European Union, for instance, through what is known as negotiated, contract or private law, between the actors directly involved. They embrace the trend towards decentralisation in the production and application of law and form part of a different theoretical model of legal positivism. As a legal phenomenon soft law should be seen as a network rather than a hierarchy in order to understand how it can both be “soft” and still retain the more traditional concept of law. This coexistence of both pyramid and network corresponds to the move from legislation to regulation and from government to governance. To improve and increase social coordination, some of today’s normative processes involve the actors concerned directly, even though they are not necessarily linked to the public sphere or to the institution of the state. On the problem of the network, see François Ost and Michel van de Kerchove, De la pyramide au réseau? Pour une dialectique du droit, Brussels, Publications des Facultés universitaires St-Louis, 2002. How can we explain this trend towards decentralisation in the production and application of law except as the result of a deeper crisis of authority in societies claiming to be egalitarian? “It may be possible to see in this relatively recent interest in soft law one of the new directions taken in law, or rather a change of perspective, particularly in domestic law, moving away from the monolithic perception of law as a hierarchical instrument of constraint, and viewing it also, and increasingly, as a way of achieving an idea of society that is shared with its subjects, negotiated, guiding law that is welcomed and approved rather than imposed, in democratic
societies that are becoming increasingly complex and segmented”: Georges Abi-Saab, “Éloge du ‘droit assourdi’. Quelques réflexions sur le rôle de la soft law en droit international contemporain”, in Nouveaux itinéraires en droit. Hommage
à François Rigaux, Brussels, Bruylant, 1993, pp. 59-68, p. 60.
The phenomenon of soft law has gathered pace over the last thirty
years. 2 Although soft forms of regulation initially mainly governed the
work of the international organizations, they now also cover some relations
between states. They are also often used by non-state actors such as
multinational companies, trade unions, pressure groups and other nongovernmental
organizations (NGOs) to regulate the international dimension
of their relations. As a result of this growing use of soft forms of regulation
and the number of different actors using them, consideration
needs to be given to the role of soft law in today’s international legal
system. What is the function of soft law for decentralized societies such
as we see in the international community, and what are the consequences
of the proliferation of soft law for international labour law in particular?
BAB III
HUKUM ADAT PERKEMBANGAN DALAM HUKUM POSITIVE DI INDONESIA
Hukum Asli Indonesia
Hukum adat tumbuh dari cita-cita & alam pikiran masyarakat Indonesia. Maka hukum adat dapat dilacak secara kronologis sejak Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan, yg tersebar di seluruh nusantara. Masa Sriwijaya, Mataran Muno, Masa Majapahit beberapa inskripsi (prasasti) menggambarkan perkembangan hukum yg berlaku (hukum asli), yg telah mengatur beberapa bidang, antara lain:
Aturan aturan keagamaan, perekonomian & pertambangan, dimuat dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu, Jawa Tengah;
Mengatur keagamaan & kekaryaan, dimuat dalam prasasti Raj Dewasimha tahun 760;
Hukum Pertanahan & Pertanian ditemukan dalam Prasasti Raja Tulodong, di Kediri., 784 & prasasti tahun 919 yg memuat jabatan pemerintahan, hak raja atas tanah, & ganti rugi;
Hukum mengatur tentang peradilan perdata, dimuat dalam prasasti Bulai Rakai Garung, 860.
Perintah Raja buat menyusus aturan adat, dalam prasasti Darmawangsa tahun 991;
Pada masa Airlangga, adanya penetapan lambang meterai kerajaan berupa kepala burung Garuda, pembangunan perdikan dgn hak-hak istimewanya, penetapan pajak penghasilan yg mesti dipungut pemerintah pusat.
Masa Majapahit, tampak dalam penataan pemerintahan & ketatanegaraan kerajaan Majapahit, adanya pembagian lembaga & ba& pemerintahan. Setelah jatuhnya Majapahir, maka kerajaan Mataram sangat diwarnai oleh pengaruh Islam, maka dikenal peradilan qisas, yg ,memberikan pertimbangan bagi Sultan buat memutus perkara. Di pedalaman, dikenal peradilan ‚padu’ yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan oleh peradilan desa, dilakukan secara damai. Bersamaan itu, maka di Cirebon dikenal : Peradilan Agama memutus perkara yg membahayakan masyarakat umum, Peradilan Digrama yg memutus pelanggaran adat, & perkara lain yg tidak masuk peradilan agama; & Peradilan Cilaga adalah peradilan dalam bidang perekonomian, perdagangan, jual beli, hutang piutang.
Beberapa contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa tatanan hukum asli yg telah berlaku di berbagai daerah, yg sekarang dikenal dgn nama Indonesia menunjukkan hukum bersumberkan pada masyarakat asli, baik berupa keputusan penguasa maupun hukum yg berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
2. Politik Hindia Belanda Terhadap Hukum Adat.
Pada awalnya hukum asli masyarakat yg dikenal dgn hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya, namun kehadiran era VOC dapat dicatat perkembangan sebagai berikut:
Sikapnya tidak selalu tetap (tergantungan kepentingan VOC), karena tidak berkepentingan dgn pengadilan asli;
VOC tidak mau dibebani oleh persoalan administrasi yg tidak perlu berkenaan dgn pengadilan asli;
Terhadap lembaga-lembaga asli, VOC tergantung pada kebutuhan (opportuniteits politiek);
VOC hanya mencampuri urusan perkara pidana guna menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat;
Terhadap Hukum perdata diserahkan , & membiarkan hukum adat tetap berlaku.
Pada masa Dandeles, hukum pidana adat diubah dgn pola Eropa, bila :
Perbuatan pidana yg dilakukan berakibat mengganggu kepentingan umum;
Perbuatan pidana bila dituntut berdasarkan atas hukum pidana adat dapat mengakibatkan si pelaku bebas;
Perkembangan hukum adat pada masa daendels bernasib sama dgn masa-masa sebelumnya yakni disubordinasikan hukum Eropa. Terkecuali buat hukum sipil. Termasuk hukum perdata & hukum dagang, Daendel tetap membiarkan sebagaimana adanya menurut hukum adat masing-masing35.
Mada masa penjajahan Inggris (Raffles), perihal yg menonjol adalah adanya keleluasaan dalam hukum & peradilan dalam menerapkan hukum adat, asal ketentuan hukum adat tidak bertentangan dengan: the universal and acknowledged principles of natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice.
Pada perkembangan lanjutan, politik hukum adat tampak pada pemerintahan penjajahan Belanda, ketika dimulainya politik unifikasi hukum & kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, di antaranya: Alegemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), Ketentuan Umum tentang peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; Burgerlijke Wetboek, Wetboek van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie (RO). Maka dalam perkembangannya terbentuklah unifikasi dalam pengaturan hukum pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing & Pribumi, dgn dibentuknya Wetboek van Strafrecht (WvS), sebagi tiruan Belanda (1881) yg meniru Belgia, diberlakukan bagi golongan Eropa dgn Stb 1866:55 & berlaku bagi Golongan Pribumi & Timur Asing dgn Stb 1872:85 yg mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Proses kodifikasi & unifikasi, maka hukum adat kecuali berkenaan dgn ketertiban umum dgn kodifikasi hukum pidana, tidak disangkutkan pengaturannya, sehingga yg dijadikan rujukan hukum adat adalah pasal 11 AB:
Kecuali dalam hal-perihal orang pribumi atau yg disamakan dgn mereka (orang timur asing) dgn sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdata & hukum dagang Eropa, atau dalam hal-perihal bahwa bagi mereka berlaku peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lain, maka hukum yg berlaku & yg diperlakukan oleh hakim pribumi (Inlandse rechter) bagi mereka itu adalah godsdienstige wetten, volkintellingen en gebruiken, asal saja tidak bertentangan dgn azas –azas keadilan yg diakui umum.
Pasal 11 AB, berlakukan azas konkordansi, yg memberlakukan hukum Belanda bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, berkenaan dgn dgn hukum adat menunjukkan bahwa hukum adat berlaku bagi golongan penduduk bukan Eropa, kecuali:
Sukarela menaati peraturan peraturan perdata & hukum dagang yg berlaku bagi golongan Eropa;
Kebutuhan hukum memerlukan ketundukan pada hukum perdata & hukum dagang golongen Eropa;
Kebutuhan mereka memerlukan ketundukan pada hukum lain;
Pada masa ini, hukum dianggap ada bila diatur dalam undang-undang, sebagai hukum tertulis (statuary law) yg menunjukkan dianutnya paham Austinian, sebagaimana diatur pasal 15 AB (Alegeme Bepalingen van Vetgeving), yg menyatakan: terkecuali peraturan-peraturan yg ada, bagi orang Indonesia asli & bagi mereka yg dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya dapat disebut hukum apabila undang-undang menyebutnya.
Dgn demikian menjadi jelas yg membuat ukuran & kriteria berlaku & karenanya juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan masyarakat –dimana tempat memproduksi & memberlakukan hukum adanya sendiri – melainkan adalah hukum lain yg dibuat oleh penguasa (kolonial), sebagaimana ternyata dalam pasal 11 AB & pasal 15 AB tersebut.
Hukum Adat Dalam Masa Kemerdekaan
Merujuk pada pengertian hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo, maka hukum adat pembentukan dapat melalui Ba& Legislatif, Melalui Pengadilan.
Hukum merupakan kesatuan norma yg bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian hukum & hukum adat pada khususnya menurut karakternya, ada
Hukum adat memiliki karakter bersifat netral, &
Hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dgn nilai-nilai relegius.
Pembedaan ini penting buat dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yg akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral – hukum lalu lintas36 - adalah hukum yg relative longgar kaitannya dgn nilai nilai religius – susunan masyarakat adat - perihal ini berakibat, perubahan hukum yg termasuk hukum netral mudah pembentukannya & pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan (legislasi). Sedangkan hukum adat yg erat kaitannya dgn nilai-nilai relegius – karena itu relative tidak mudah disatukan secara nasional, maka pembinaan & perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.
Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yg salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dgn hukum-hukum barat37. Akibat pemahaman dgn paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dgn segala akibat-akibat yg menyertai, yg akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.
a. Hukum Adat Dalam Konsitusi.
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan & pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yg ada di dalamnya mengandung nilai luhur & jiwa hukum adat38. Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup Pancasila, perihal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yg hidup dalam nilai-nilai, pola pikir & hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yg Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yg disebut Hak Menguasai Negara (HMN), perihal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yg secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan kehakiman mesti berisi alasan-alasannya & dalam perkara mesti menyebut aturan-atiuran undang-undang & aturan-aturan hukum adat yg dijadikan dasar hukum itu39 Selanjutnya dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dgn demikian hakim mesti menggali & mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa berkembang. Dalam pasal 102 & dgn memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa buat membuat kodifikasi hukum. Maka perihal ini termasuk di dalamnya hukum adat.40
Dgn dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dimbali berlaku, ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan melipouti segenap bangsa Indonesia, perihal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yg disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak emwujdukan keadilan sosial. Perihal ini berbeda dgn keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia & hak milik dalam mewujudkan perihal itu menjadi penting buat diwujdukan & disesusikan dgn dgn tuntutan & perekembangan amsyarakat, dgn tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan & perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental & penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat & pemimpinnya41, artinya pemimpin mesti menantiasa memahami nilai-nilai & perasahaan hukum, perasaaan politik & menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik.Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpoin publik yanhg memilikiw atak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus & berperikemanusiaan42. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yg Maha Esa, perihal ini mengharuskan cita hukum & kemasyarakatan mesti senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan & ketaqwaan kepada Tuhan Yg Maha Esa, & negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala perihal & arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia & masyarakatnya sebagai fungsinya mesti sebabtiasa dgn visi & niat memperoleh ridho Tuhan yg maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui & menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat bebeserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup & sesuai dgn perkembangan masyarakat & prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yg diatur dalam undang-undang43.
Memahami rumusan pasal 18 d UUD 1945 tersebut maka:
Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat & hak-hak tradisionalnya ;
Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
Sesuai dgn perkembangan masyarakat; dan
Sesuai dgn prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diatur dalam undang-undang
Maka konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan & penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup & sesuai perkembangan masyarakat;
Syarat Idealitas, yaitu sesuai dgn prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, & keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Hukum perundang-undangan sesuai dgn TAP MPR Tahun 2001, maka tata urutan perundang-undangan:
Undang-undang Dasar 1945;
Ketetapan MPR;
Undang-undang/ Perpu
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Daerah;
Perihal ini tidak memberikan tenpat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yg secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
b. Hukum Adat Dalam UU Drt No. 1 Tahun 1951.
Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 & pasal 5. Pasal 1, ditegaskan.
Kecuali pengadilan desa seluruh ba& pengadilan yg meliputi ba& pengadilan gubernemenm ba& pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yg hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, & pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yg hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat yg telah dihapuskan.
Pasal 5 ayat (3) Sub b
Hukum Materiil sipil & buat sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yg sampai kini berlaku buat kaula-kaula daerah swapraja & orang-orang yg dahulu diadili oleh pengadilan adat, adat tetap berlaku buat kaula-kaula & orang-orang itu dgn pengertian:
...perbuatan yg menurut hukum yg hidup mesti dianggap perbuatan pidana akan tapi tidak ada bandingannya dalam KUHP Sipil maka dianggap diancam dgn hukuman yg tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara dan/ atau denda lima ratus , yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yg dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum...
Bahwa bilamana hukum adat yg dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui pidananya dgn kurungan atau denda, ...maka dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 (sepuluh) tahun penjara, dgn pengertian bahwa hukum adat yg menurut paham hakim tidak selaras lagi dgn zaman...
Bahwa suatu perbuatan yg menurut hukum mesti dianggap perbuatan pidana & yg ada bandingannya dgn KUHP Sipil maka dianggap diancam dgn hukum yg sama dgn hukum bandingannya yg paling mirip dgn perbuatan itu.
Ketentuan tersebut berusaha buat menghapus hukum pidana adat berikut sanksinya bagi pribumi & orang-orang timur asing dgn peradilan pidana adat, kecuali hanya diselenggarakan oleh peradilan umum, peradilan agama & peradilan desa (hakim perdamaian desa).
Dgn demikian sejak dikeluarkan UU Drt Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum pidana adat sudah tidak mendapat tempat semestinya karena sangat dibatasi dalam politik hukum NKRI. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/KBPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, disebutkan:
pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
Hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada apabila:
terdapat sekelompok orang yg masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yg mengakui dan menerapkan ketentuan-ketenuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
terdapat tanah ulayat tertentu yg menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;
terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan penguasaan & penggunaan tanah ulayat yg berlaku & ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Hukum Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yg sangat bersentuan langsung dgn masyarakat adat. Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan: hukum agraria yg berlaku atas bumi, air & ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dgn kepentingan nasional & negara yg berdasarkan persatuan bangsa, dgn sosialisme Indonesia beserta dgn peraturan yg tercantum dalam undang-undang ini & dgn peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu dgn mengindahkan unsur-unsur yg bersumber pada hukum agama. Dalam Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yg disempurnakan & disuaikan dgn kepentingan masyarakat dalam negara modern & dalam hubungannya dunia internasional beserta sesuai dgn sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari Tap MPRS II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402.
Hukum adat yg dimaksud adalah adalah bukan hukum adat asli yg senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan melainkan hukum adat yg sudah direkontruksi, hukum adat yg sudah: disempurnakan44, disaneer45, modern46 , yg menurut Moch.Koesnoe menganggap hukum adat yg ada dalam UUPA telah hilang secara materiil, karena dipengaruhi oleh lembaga-lembaga & ciri-ciri hukum barat atau telah dimodifikasikan oleh sosialisme Indonesia sehingga yg tersisa hanyalah formulasinya (bajunya) saja47.
Hukum agraria hanya memberlakukan hal-perihal tertentu saja daripadanya. Pereduksian dapat dilihat dalam kaitannya dgn kekuasaan negara48. Adanya Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara Hak Ulayat yg dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yg berada di wilayah Indonesia, yg kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemerintah di bawahnya. Maka Hak Ulayat dalam masyatakat adat yg semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dgn tergantung kepentingan & ditentukan oleh negara.
Akibat lebih jauh adalah, timbulnya hak atas tanah menurut hukum adat, yaitu dgn Hak Membuka Tanah (ontginningrecht) yg diberikan oleh ulayat, sehingga ia memiliki Hak Menikmati (genotrecht), & memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yg digarapnya, timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa di Jawa Tengah (pekulen, norowito) & Jawa Barat (kasikepan, kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi & disubordinasikan melalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur pasal 22 ayat (1) UUPA: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dgn Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DALAM YURISPRUDENSI INDONESIA
Yurisprudensi, berasal dari kata bahasa Latin: jurisprudential, secara tehnis artinya peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi adalah putusan hakim (judge made law) yg diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas similia similibus), kemudian putusan hakim itu menjadi tetap sehingga menjadi sumber hukum yg disebut yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek berfungsi buat mengubah49, memperjelas50, menghapus51, menciptakan52 atau mengukuhkan hukum53 yg telah hidup dalam masyarakat.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan pengadilan yg telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga merupakan sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum adat, baik yg masih bersifat local maupun yg telah berlaku secara nasional. Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan pengetahuan tentang pergeseran & tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat local & menguatnya hukum adat yg kemudian menjadi bersifat & mengikat secara nasional. Perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi dapat dilacak dalam beberapa perihal antara lain:
Prinsip Hukum Adat.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, perihal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986.
Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989 tanggal 19 Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yg dimbul di Pengadilan Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan:
“ Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yg fondamentum petendi & petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat & penegasan sanksi adat; Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim mesti menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yg masih berlaku di daerah bersangkutan, setelah mendengar Tetua adat setempat“.
Kaedah hukum selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran hukum adat, disamping melalui gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula ditempuh melalui tuntutan pidana ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.
Menguatnya Kedudukan Keluarga Inti (Gezin)
Golongan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari golongan masyarakat patrilineal, golongan masyarakat matrilineal & golongan masyarakat parental (bilateral). Dalam Perkembangannya ternyata semakin kuat & diakuinya pergeseran system kekeluargaan dalam masyarakat adat matrilineal & masyarakat adat matrilineal ke arah system parental atau bilateral. Yurisprudensi tanggal 17 Januari 1959b Nomor 320K/ Sip/ 1958 sebagai berikut:
Si istri dapat mewarisi harta pencaharian sang suami yg meninggal dunia;
Anak yg belum dewasa dipelihara & berada dalam pengampuan ibu;
Karena anak berada dalam pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai & diurus oleh ibu.
Kedudukan sama laki & perempuan.
4. Menguatnya Perlindungan kepada Perempuan Dalam Hukum Waris
Kedudukan anak Perempuan Dalam Hukum Waris
Semula menurut hukum adat dalam masyarakat patrilineal, anak perempuan bukan ahli waris. Namun dalam perkembangannya diakui oleh yurisprudensi bahwa anak perempuan sebagai ahli waris almarhum orang tuanya.
Kedudukan Janda dalam Hukum Waris
Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris, dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh suami kepada istrinya buat melindungi & mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin lama semakin melembaga. Perkembangan hukum adat berikutnya adalah, janda sebagai ahli waris bersama-sama dgn anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai ahli waris yg kedudukannya sama dgn ahli waris anak. Perkembangan selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yg menutup ahli waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29 Okt0ber 1958, Janda dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3190K/ Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari harta peninggalan suaminya, & haknya sederajad dgn anak kandungnya, jika tidak memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap harta gawan & harta gono gini.
Prinsip-prinsip Jual Beli Tanah
Jual beli tanah sah bila memenuhi syarat terang dan tunai, perihal ini ternyata secara konsisten dipegang dalam yurisprudensi tentang jual beli tanah. Terang artinya transaksi peralihan hak atas tanah mesti disaksikan oleh Pejabat Umum. Tunai artinya jual beli tanah hanya sah bila berlangsung adanya pembayaran lunas & penyerahan tanah pada disaat yg sama.
Prinsip Pelepasan Hak Sebagai Dasar Timbul atau Hilangnya Hak Bukan Daluarsa Hukum adat tidak mengenal lembaga daluarsa, melainkan mengenal apa yg disebut lembaga pelepasan hak (rechsververking), artinya bila sebidang tanah dibiarkan, maka lama kelamaan haknya akan menyurut & puncaknya akan terlepas, seiring semakin renggangnya hubungan fisik antara pemilik & tanah yg bersangkutan demikian juga sebaliknya.
Hukum Pidana Adat.
Dalam sistem hukum adat, sesungguhnya tidak ada pemisahan hukum pidana dgn hukum lain sebagaimana sistem hukum barat, penjatuhan pidana semata-mata dilakukan buat menetapkan hukumnya (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreaktie), buat mengembalikan hukum adat yg dilanggar. Hukum pidana adat mendapat rujukan berlakunya dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.
Beberapa Yurisprudensi penting mengenai Hukum pidana adapt adalah:
Perbuatan melawan Hukum.
Misalnya PN Luwuk No. 27/Pid/ 1983, mengadili perkara hubungan kelamin di luar perkawinan, hakim memutus terdakwa melanggar hukum yg dihupo di wilayah banggai, Sulawesi Tengah, berdasarkan unsur pidana dalam pasal 5 ayat 3 sub b UU Drt 1/ drt/1951, yg unsurnya adalah:
Unsur pertama, suatu perbuatan melanggar hukum yg hidup;
Unsur kedua, perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUHP;
Unsur ketiga, perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku buat kaula-kaula & oarng-orang yg bersangkutan.
Putusan PT Palu No. 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 menguatkan putusan PN Luwuk, dgn menambahkan bahwa, buat memenuhi rasa keadilan masyarakat, yg menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana, hakim memutuaskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dgn seorang wanita di luar nikah. Mahkamah Agung, dgn putusan No. 666K/ Pid/ 1984 tanggal 23 februari 1985, perbuatan yg dilakukan terdakwa dikatagorikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 3898K/Pdt/1989, tanggal 19 Nopember 1992, mengenai pelanggaran adat serupa di daerah Kafemenanu, mamun diajukan secara perdata dgn gugatan, intinya: Jika dua orang dewasa melakukan hubungan kelamin atas dasar suka sama suka yg mengakibatkan di perempuan hamil, & si laki-laki tidak bertanggung jawab atas kehamilan tersebut, mesti ditetapkan suatu sanksi adat berupa pembayaran belis (biaya atau mas kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (di kenal dgn nama Pualeu Manleu).
Perbuatan melanggar hukum adat Logika Sanggraha di Bali.
Dalam perkara Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984, Menurut Mahkamah Agung, seorang laki-laki yg tidur bersama dgn seorang perempuan dalam satu kamar & pada satu tempat tidur, merupakan bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dgn wanita itu. Berdasarkan keterangan saksi korban & adanya bukti petunjuk dari para saksi-saksi lainnya, terdakwa telah bersetubuh dgn saksi korban sebagaimana dimaksud dalam dakwaan subsider.
Mengenai dakwaan primer, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti dgn sah , karena unsur barang dalam pasal 378 KUHP tidak terbukti de gan sah & meyakinkan, dgn demikian maka terdakwa mesti dibebaskan datri dakwaaan primer ex pasal 378 KUHP. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah Agung dalam diktum putusannya berbunyi:
Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;
Menyatakan terdakwa bersaklah terhadap dakwaan subsider melakukan tindak pidana adat Logika Sanggraha;
Menghukum terdakwa dgn hukuman penjara dua bulan;
Hukum adat pidana Logika Sanggraha di Bali Peswara Bali, merupakan suatu perbuatan seorang pria yg memiliki unsur-unsur:
bersetubuh dgn seorang gadis;
Gadis tersebut menjadi hamil karenanya;
Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis tersebut sebagai istrinya yg sah.
Putusan Pengadilan negeri Mataram NO. 051/Pid.Rin/1988 tanggal 23 Maret 198854. Pengadilan mempertimbangkannnya telah menyebut pelanggaran terhadap hukum adat delik Nambarayg atau Nagmpesake.
MA-RI Nomor 481 K/Pid/1986 tanggal 31 Agustus 1989 dari PN Ende Problematika organ tubuh wanita55, beberapa kali diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP, menempatkan organ tubuh peremuan sebagai barang. Solusinya diterapkan pasal 5 (3) b Undang-undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 LN. Nomor 9 Tahun 1950 tanggal 13 Januari 1951. Dalam kasus serupa di pengadilan Negeri Me& Nomor 571/KS/1980 tanggal 5 Maret 1980 pernah diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP & dikuatkan oleh PT Nomor 144/Pid/ 1983 tanggal 8 Agustus 1983. Barang ditafsirkan secara luas , sehingga barang termasuk juga jasa. Barang sesuatu yg melekat bersatu pada diri seseorang ( kemaluan) juga termasuk pengertian barang, yg dalam bahasa Tapanuli dikenal dgn ” Bonda” yg artinya ” barang” yg tidak lain adalah ” kemaluan” . Sehingga bilama seorang gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka samalah artinya gadis tersebut menyerahkan barang kepada pri tersebut. Dgn penafsiran secara luas tersebut, maka telah terpenuhi unsur barang dalam pasal 378 KUHP. Dalam praktek kemudian banyak diikuti penegak hukum ( jaksa) Buat menjerat seorang pria yg berhasil menyetubuhi gadis yg akan dikawini, tapi akhirnya pria ingkar janji, & gadis menjadi korban yg merana seumur hidup.
Dalam putusan MA-RI Nomor 61 K/ Pid/ 1988 tanggal 15 Maret 199056, berdasarkan perkara yg diputus pengadilan Negeri Pamekasan, penyelesaian tidak dapat menggunakan ketentuan pasal 378 KUHP, melainkan dgn melalui jalur delik adat zina ex pasal 5 (3) sub bUndang-undang Drt Nomor 1 Ytahun 1951 yg ada bandingannya dalam KUHP, yaitu pasal 381 KUHP, sehingga pria si pelaku dapat dipidana. Sikap MA-RI terhadap persoalan tersebut sejak putusannya Nomor 93K/Ke/1976, menjadi yurisprudensi tetap
Penerapan delik pasal 293 KUHP Pria yg ingkar janji kawin, MA menyatakan terdakwa terbukti secara sah & meyakinkan bersalah melakukan kejahatan:
” Penyesatan dgn sengaja , membujuk seorang yg belum dewasa buat melakukan perbuatan cabul, padaperihal tentang belum cukup umurnya itu dihitung selayaknya mesti diduganya;
Dalam Kasus ini ada beberapa perihal yg patut dicatat:
Bahwa batasan umur ” belum dewasa ” Mahkamah Agung tetap berpendirian seperti putusan sebelumnya, gadis yg belum mencapai umur 21 tahun; dalam kasus ini gadis tersebut berumur 20 tahun.;
Unsur membujuk dalam kasus ini berupa : ” Janji terdakwa buat mengawini gadis setelah keinginanya bersetubuh tercapai, tidak ditepainya;
Kwalifikasi dirumuskan oleh judex factie (pertama maupun banding) dgn kata-kata : ” perempuan yg belum dewasa” sedangkan MARI merumuskan : ”seorang yg belum dewasa”;
Diktum Putusan PT dijumpai perumusan hukuman : Pidana penjara selama 2, 5 tahun ( dua setengah tahun). Menururt psal 27 KUHP dgn menyebut banyaknya hari, bulan & tahun..”, maka seharusnya: ” dua tahun enam bulan”;
1 Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis & Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 perihal 21
2 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24
3 Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yg Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung, 3
4 Satjipto Rahardjo: Modernisasi & Perembangan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980, perihal 18.
5 Ibid, perihal 19
6 Satjipto Raharjo, 2003, 23
7 Op cit, perihal 28
8 Eman Suparman, ASAL USUL BESERTA LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan
Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum & Persoalan Keadilan)”; Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001,
9 Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan & Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979, 14.
10 Dr. Eman Suparman, SH, MH, ASAL USUL BESERTA LANDASANPENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA(Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen
11 Hukum & Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Buat Menyambut
Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
12 ibid
13 Hukum agama hanya dapat berlaku & mengikat masyarakat sepanjang tidak bertentangan & telah diresepsi ke dalam hukum adat.
14 Otje Salman
15 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam & Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38
16 Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, perihal 8
17 Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, perihal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH : Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, 17.
18 Abdulrahman , SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, perihal 18
19 Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rayat, Jakarta
20 Op cit Abdulrahman, perihal 18.
21 Ibid perihal 19
22 Ibid, perihal 19
23 Ibid, perihal 19.
24 Ibid perihal 19.
25 Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat & Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat & Modernisasi Hukum, Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998, 107.
26 Op cit, perihal 24
27 Ibid perihal 22.
28 Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor: Hukum Adat & Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, 170
29 Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997 perihal 140,141
30 Dr. Khundzalifah Dimyati, SH, M.Hum: Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004 – 22.
31 Sujito Sosrodiharjo, Susadyo Wignjosubroto, Kuclon
32 Moh Koesnoe
33 Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat & Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta, perihal 226
34 Ibid perihal 175
36 Soerjono Soekanto menyebutnya sebagai “hukum lalu lintas”, dalam : Soerjono Soekanto: Masalah Kedudukan & Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta, 1979, perihal 24.
37 Otje Salman, Rekonsepsualisasi Hukum Adat,
38 I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, perihal 40
39 R.Soeroyo Wignjodipoero, perihal 16
40 Pasal 25 ayat 1: penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuk warga negara sesuatu golongan rakyat, ayat 2: Perbedaan dalam kebutuhan masyarakat & kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan.
41 Sesuai prinsip dalam falsafah Jawa: manunggaling kawulo-gusti.
42 Trahing kusumo rembesing madu, selanjytnya ibid R Soerojo, perihal 22
43 Diatur dalam Amandemen Kedua Undang-undang Dasar 1945 yg disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
44 Sudargo Gautama
45 Istilah Budi Harsono.
46 Istilah yg digunakan oleh Prof Ko Tjai Sing,
47 Prof. Dr.HR.Otje Salman Soemadiningrat, SH, 163
48 Ibid,
49 Mengubah dalam perihal hukum itu sudah tidak sesuai dgn perkembangan masyarakat.
50 Memperjelas dalam perihal hukum itu dalam peraturan perudang-udangan tidak jelas.
51 Menghapus dalam perihal hukum itu sudah tidak sesuai lagi dgn kebutuhan masyarakat.
54 Varia Peradilan Nomor 39 Desember 1988
55 VP Nomor 55 April 1990
56 VP Nomor 65 Fanruari 1991
we hope HUKUM ADAT DALAM PERKEMBANGAN are solution for your problem.