ETIKA PROFESI HAKIM

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yg merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum & keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yg tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yg diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yg telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yg termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), & Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (& ba& peradilan di bawahnya) & MK yg merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga ba& ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.

Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yg berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yg memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), & kompeten yg dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yg dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak & kebebasan warga negara, & semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum & keadilan. Besarnya kewenangan & tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yg selalu diucapkan dgn irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yg Maha Esa". Perihal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tapi juga kepada Tuhan Yg Maha Esa.[1]

Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yg dijunjung buat dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yg bersangkutan. Demikian halnya dgn profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yg didasarkan pada nilai-nilai yg berlaku di Indonesia beserta nilai-nilai yg bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim buat mengatur tata tertib & perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.

Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai perihal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim & Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. & yg paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dgn disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yg disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA & KY.

Berkaitan dgn fenomena yg tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA & KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik mesti disusun oleh profesi yg bersangkutan yg akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yg akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman buat melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yg akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik dibuat buat mengatur perilaku & sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3]

Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga disaat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir buat memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yg diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yg mahal, administrasi yg berbelit-belit, perbuatan & tingkah laku pejabat peradilan yg dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga disaat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di ba& peradilan cenderung menguat & merusak seluruh sendi peradilan. Perihal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan & kepercayaan ba& peradilan terhadap masyarakat & dunia internasional. Keadaan ba& peradilan yg demikian mendesak pihak- pihak yg berwenang dalam menjalankan negara ini buat melakukan upaya- upaya luar biasa yg berorientasi kepada terciptanya ba& peradilan & hakim yg dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, & diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.

Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yg diterapkan di ba& peradilan selama ini. Dgn kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:[4]

1.      kualitas & integritas pengawas yg tidak memadai;

2.       proses pemeriksaan disiplin yg tidak transparan;

3.      belum adanya kemudahan bagi masyarakat yg dirugikan buat menyampaikan pengaduan, memantau proses beserta hasilnya (ketiadaan akses);

4.      semangat membela sesama korps (esprit de corps) yg mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dgn perbuatan. Setiap upaya buat memperbaiki suatu kondisi yg buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yg selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yg buruk itu; dan

5.      tidak terdapat kehendak yg kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum buat menindaklanjuti hasil pengawasan.

Hal-perihal yg diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal ba& peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) & tidak adanya kehendak yg sungguh-sungguh dari pimpinan ba& peradilan buat menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yg terbukti melakukan pelanggaran hukum & kode etik buat mendapat "pengampunan" dari pimpinan ba& peradilan yg bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yg menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.

1.2 Identifikasi Masalah

            Identifikasi masalah dalam paper ini adalah :

a.       Bagaimanakah Profesi Hakim & Karakteristiknya..?

b.      Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim...?

c.       Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim...?

1.3 Tujuan Pembuatan Paper

            Tujuan pembuatan paper adalah buat memenuhi salah satu tugas mata perkuliahan Etika & Tanggung Jawab Profesi,& buat memberikan pengetahuan bagi pembaca khususnya buat pembuat paper ini & umumnya buat para mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profesi Hakim & Karakteristiknya

Sebagai sebuah profesi yg berkaitan dgn proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yg biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yg diberi wewenang oleh undang-undang buat mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim buat menerima, memeriksa, & memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, & tidak memihak di sidang pengadilan dalam perihal & menurut tata cara yg diatur dalam undang-undang.[6]

Hakim memiliki kedudukan & peranan yg penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yg dianut & wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yg bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap & bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.[7]

1.       Profesi hakim adalah profesi yg merdeka guna menegakkan hukum & keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan & keadilan.

2.       Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim buat menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, & biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang & wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yg Maha Esa.

3.       Hakim tidak boleh menolak buat memeriksa & mengadili suatu perkara yg diajukan dgn dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yg mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yg hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.

4.       Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama & kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yg berbentuk majelis, dgn sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.

5.       Hakim mesti senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap & tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yg Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yg lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dgn pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:

"Segala putusan pengadilan selain mesti memuat alasan & dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yg bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yg dijadikan dasar buat mengadili."[8]

6.       Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Perihal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yg menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dgn pihak-pihak yg terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dgn terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]

Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yg pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia & masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yg pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10]

1.       Profesi mesti dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.

2.       Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.

3.       Pengembanan profesi mesti selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4.       Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu & peningkatan mutu pengemban profesi.

Sebagai suatu profesi di bidang hukum yg secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut buat memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas & kewajibannya. Salah satu unsur yg membedakan profesi hakim dgn profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen beserta pendidikan bersifat khusus yg diterapkan bagi setiap orang yg akan mengemban profesi ini.

2.2  Persyaratan Calon Hakim

Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]

a.      Warga Negara Indonesia.

b.      Bertakwa kepada Tuhan Yg Maha Esa.

c.       Setia kepada Pancasila & Undang-Undang Dasar 1945.

d.       Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yg terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

e.       Pegawai Negeri.

f.       Sarjana hukum.

g.       Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.

h.      Berwibawa, jujur, adil, & berkelakuan baik.

2.3   Pendidikan & Pelatihan Calon Hakim[12]

Proses pendidikan & pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan & sangat erat kaitannya dgn proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan buat menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para pebeserta buat memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yg terarah belum terlihat pada tahap yg disebut Diklat Praktik I ini. Para pebeserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian pra­jabatan, yg merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.

Setelah melalui proses pengangkatan & memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para pebeserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yg diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan & Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para pebeserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, & mulai dipersiapkan secara teoritis buat mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para pebeserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dgn status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yg disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yg sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para pebeserta yg dianggap layak buat diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.

2.4  Pola Rekrutmen & Kualitas Hakim

Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu buat menjadi hakim akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yg sejak awal memang memiliki kapabilitas & wawasan hukum yg mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yg nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yg berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yg kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yg dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yg selama ini diterapkan di Indonesia.

Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yg membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum & amat mencederai perasaan hukum & keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yg memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir & hakim non- karir.[13]

Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yg lahir dari sistem Civil LaW) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri & pemikiran yg mandiri. Perihal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut buat membuat keputusan yg kontroversial & memiliki dampak politik yg besar. Perihal ini berbeda dgn hakim di negara penganut sistem Common Law yg sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.[14]

Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, mesti menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan kondisi yg ada dalam dunia peradilan berkaitan dgn kualitas profesi hakim seperti di bawah ini.[16]

1.       Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (& para pemangku otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak adanya model kompetensi yg menjadi acuan mengenai karakter ideal yg sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.

2.       Dalam survei yg dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, disaat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yg menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim & staf pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dgn peningkatan profesionalisme mereka.

Selanjutnya, Reza menguraikan dua perihal yg dapat menjadi alternatif solusi buat mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.[17]

1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, & berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih mesti diberikan penilaian secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.

2. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job manual) & perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan karir para hakim.

2.5 Tanggung Jawab Profesi

Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yg mesti ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi & bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.[18]

1.      Tugas, yaitu kewajiban & kewenangan atau kekuasaan yg mesti dilaksanakan buat kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya.

2.       Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yg terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, & penunjang.

3.       Lembaga, yaitu wadah (struktur & organisasi) bebeserta sarana & prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya.

Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yg terkait tiga hal, yaitu:

1.      mendapat kepercayaan buat dapat mengemban tugas;

2.       merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan

3.       merupakan suatu amanat yg mesti dijaga & dijalankan.

Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab

moral, tanggung jawab hukum, & tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dgn nilai-nilai & norma-norma yg berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yg bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yg merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yg menjadi beban aparat buat dapat melaksanakan tugasnya dgn tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat buat melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dgn kriteria teknis yg berlaku dalam bidang profesi yg bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[19]


2.6  Tanggung Jawab Moral Hakim

Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yg terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) mesti dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yg terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yg telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]

1.       To hear corteously (mendengar dgn sopan & beradab).

2.       To answer wisely (menjawab dgn arif & bijaksana).

3.       To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).

4.       To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

Peradaban Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yg masih tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yg selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, & pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.[21]

1.      Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, & putusan sehingga pihak yg merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yg lemah tidak berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim.

2.      Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yg bersengketa kecuali perdamaian yg menghalalkan yg haram atau mengharamkan yg halal.

Dalam bertingkah laku, sikap & sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:[22]

           Kartika, melambangkan Ketuhanan Yg Maha Esa;

            Cakra, berarti seorang hakim dituntut buat bersikap adil;

            Candra, berarti hakim mesti bersikap bijaksana atau berwibawa;

            Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan

           Tirta, berarti seorang hakim mesti jujur.

Sebagai perwuju& dari sikap & sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim mesti memiliki etika kepribadian, yakni:[23]

a.      percaya & takwa kepada Tuhan Yg Maha Esa;

b.      menjunjung tinggi citra, wibawa, & martabat hakim;

c.       berkelakuan baik & tidak tercela;

d.       menjadi tela& bagi masyarakat;

e.       menjauhkan diri dari perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat;

f.       tidak melakukan perbuatan yg merendahkan martabat hakim;

g.       bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;

h.      berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;

i.        bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);

j. dapat dipercaya; dan

k. berpandangan luas.

2.7  Sikap Hakim dalam Kedinasan

Sikap, sifat, & etika kepribadian yg mesti dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada disaat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yg ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.[24] Secara umum, yg mesti dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yg menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25]

1.      bersikap & bertindak menurut garis-garis yg ditentukan dalam hukum acara yg berlaku;

2.      tidak dibenarkan bersikap yg menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yg berperkara;

3.      mesti bersikap sopan, tegas, & bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;

4.       mesti menjaga kewibawaan & kekhidmatan persidangan; dan

5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran & keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga mesti menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim mesti bersikap:[26]

1.      taat kepada pimpinan;

2.       menjaankan tugas-tugas yg telah digariskan dgn jujur & ikhlas;

3.       berusaha memberi saran-saran yg membangun;

4.       mempunyai kesanggupan buat mengeluarkan beserta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan

5.       tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.

Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]

1.      memelihara & memupuk hubungan kerja sama yg baik antarsesama rekan;

2.       memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, & saling menghargai antarsesama rekan;

3.       memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan

4.       menjaga nama baik & martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]

1.      mesti mempunyai sifat kepemimpinan;

2.       membimbing bawahan buat mempertinggi kecakapan;

3.       mesti mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yg baik;

4.       memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dgn hakim; dan

5.       memberi contoh kedisiplinan.

2.8   Sikap Hakim Di Luar Kedinasan

Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga mesti senantiasa menjaga sikap & perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]

1. memiliki kesehatan jasmani & rohani;

2.      berkelakuan baik & tidak tercela;

3.      tidak menyalahgunakan wewenang buat kepentingan pribadi maupun golongan;

4.      menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat; dan

5.      tidak melakukan perbuatan-perbuatan yg merendahkan martabat hakim.

Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim mesti bersikap:[30]

1.      menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan;

2.      menjaga ketentraman & keutuhan keluarga & rumah tangga;

3.      menyesuaikan kehidupan rumah tangga dgn keadaan & pandangan masyarakat; dan

4.      tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan & mencolok.

Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim mesti selalu:[31]

1.      selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;

2.      dalam hidup bermasyarakat mesti mempunyai rasa gotong-royong; dan

3.      mesti menjaga nama baik & martabat hakim.

2.9   Tanggung Jawab Hukum Hakim

Beberapa peraturan perundang-undangan yg memiliki kaitan dgn hakim & peradilan mencantumkan & mengatur pula hal-perihal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yg mesti ditaati oleh hakim, yaitu:

a.      bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, & memahami nilai-nilai hukum & rasa keadilan yg hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));

b.      bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yg baik & jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan

c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dgn ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).

Selain peraturan perundang-undangan yg menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yg mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yg mesti ditaati & menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.

            Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:

-    pelaksana putusan Mahkamah Agung;

-    wali, pengampu, & pejabat yg berkaitan dgn suatu perkara yg akan atau sedang diperiksa olehnya;

-    penasehat hukum; dan

-    pengusaha.

b.       Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dgn hormat dgn alasan:

-    dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yg diancam dgn pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

-    melakukan perbuatan tercela;

-    terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;

-    melanggar sumpah atau janji jabatan; dan

-    melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

c.       Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dgn salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.

d.       Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yg memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi

Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yg sama.

e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yg ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yg mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:

1.       Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

2.       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

3.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

4.       Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

5.       Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

6.       Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan

7.       Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

2.10  Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim

Jenis tanggung jawab yg terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yg dilakukan oleh hakim dgn ketentuan yg berlaku menjadi perihal yg paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja & profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi & formil. Oleh karena itu, adalah suatu perihal yg mutlak bagi para hakim buat memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dgn istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yg mesti dijatuhi sanksi.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

          . Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi & formil. Oleh karena itu, adalah suatu perihal yg mutlak bagi para hakim buat memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dgn istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yg mesti dijatuhi sanksi.

DAFTAR PUSTAKA

Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim & Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

 Kansil, C.S.T. & Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional & Lembaga Kajian & Advokasi buat Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) & Lembaga Kajian & Advokasi buat Independensi Peradilan (LeIP), 1999.

 Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman & Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman & Hak Asasi Manusia RI, 2002.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

 Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, & Hakim dalam Pandangan Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim & Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut & Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.

 Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum. Semarang: CV Ananta, 1994.

Zakiah, Waingatu. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2002.

we hope ETIKA PROFESI HAKIM are solution for your problem.

If you like this article please share on:

Archives

Categories

20HadiahLebaran aceh active Ada ada saja adsense aids air tanah anak antik Artikel Artis asma Bahasa bahasaindonesia baju band batuk bayi bekas belajar bencana Berita Berita Ringan big panel biologi bisnis bisnis online Blog Bola budidaya buku bunga burner burung cerai Cerpen chandra karya Cinta ciri cpns cuti cv daerah desain di jual diare diet coke diet plan dinas domisili ekonomi email euro exterior fashion fat Film FISIP foke forex format FPI furniture gambar game gejala gempa geng motor geografi gigi ginjal Girlband Indonesia graver GTNM gunung gurame guru haga haki hamil harga hasil hepatitis hernia hiv Hukum hunian ibu ijin ikan indonesia Info Informasi Information Inggris Inspirational interior Internet Intertainment izin jadwal jakarta janin jantung jati Joke jokowi kamar kamarmandi kampus kantor. karyailmiah keguguran kemenag kemenkes kendala kerja kesanggupan kesenian kesepakatan keterangan kisi kkm klaim Komik Komputer kontrak kop korea lagu lamaran lambung legalisir lemari Lifestyle ligna Linux lirik Lirik Lagu Lowongan Kerja magang mahasiswa makalah Malignant Fibrous Hystiocytoma marketing Matematika mebel medan meja melahirkan menikah merk mesothelioma mesothelioma data mimisan mimpi minimalis Misteri mobil modern modul motivasi motor mp3 mual mulut mutasi Naruto news ngidam nikah nisn noah nodul nomor surat Novel novil Olah Raga Olahraga olympic opini pagar panggilan paper paspor paud pelatihan pembelian pemberitahuan pemerintah penawaran pendidikan pengantar pengertian pengesahan pengetahuan pengumuan pengumuman pengumumna Pengunduran pengurusan penyakit penyebab perjanjian perkembangan Permohonan pernyataan perpanjangan persiapan bisnis Pertanian perumahan perusahaan perut peta phones photo Pidato pilkada pimpinan pindah plpg PLS postcard pringatan Printer Tips profil Profil Boyband properti property proposal prumahan Psikologi-Psikiater (UMUM) Puisi quote Ramalan Shio rekomendasi relaas resensi resignation resmi Resume rpp ruang rumah rupa sakit sambutan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) second sejarah sekat sekolah Selebritis seni sergur series sertifikat sertifikat tanah sinopsis Sinopsis Film Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan sitemap skripsi sm3t smd sni snmptn soal Software sosial springbed starbol stnk sukhoi sumatera surabaya surat suratkuasa Surveilans Penyakit tafsir tahap Tahukah Anda? tanda tas television teraphy Tips Tips dan Tricks Seks Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum toko Tokoh Kesehatan top traditional tsunami tugas ucapan ujian uka un undangan undian universitas unj unm unp upi uu Video virus walisongo wanita warnet